Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Cancel Culture Challenge Terhadap Brand Equity dalam Membangun Sustainable Business

11 Februari 2025   10:06 Diperbarui: 11 Februari 2025   10:06 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas Brief: Kenapa Orang Muda Gemar Membeli Pakaian Bekas (Sumber: https://www.kompas.id/baca/internasional/, 2024)

Cancel culture, menjadi pembicaraan kalangan muda Gen Z dalam beberapa minggu terakhir menjelang peluncuran film 'A Business Proposal' yang dibintangi oleh Abi Dzar Al-ghiffari dan Ariel Tatum. Film adaptasi Korea yang di remake di Indonesia menuai kecaman public, imbas dari ucapan Abi Dzar yang menjadi kontroversi (https://amp.kontan.co.id/, 2025). Trend cancel culture muncul sebenarnya sejak tahun 2010, dimana fandom mendiskusikan idola favorit mereka yang bermasalah dan tidak sempurna. Istilah ini kemudian berkembang dan digunakan diberbagi platform social media, mulai dari televisi hingga Twitter (X). Tahun 2018, kata cancel culture menjadi tidak asing sering muncul (https://suara.com/, 2025). Tak hanya dalam dunia selebriti namun juga muncul dalam dunia bisnis yang memiliki pengaruh terhadap brand equity sebuah produk.

Apabila bicara soal bisnis, mungkin yang perlu kita telisik Bersama adalah dunia thrifting, yang kini justru melejit dengan sebuah trend yang bisnis tersendiri. Thrifting, disebut oleh https://industrial.uii.ac.id/, 2020, merupakan pop culture justru awalnya berstigma buruk. Thrive atau Thrifty bermakna penggunaan barang secara baik dan efisien, kemudian mengalami perkembangan dengan Sejarah umat Kristiani Amerika yang mengumpulkan barang bekas kemudian dijual Kembali sebagai bentuk amal (Thrift World, 2020). Hingga kemudian, thrift shop mulai bermunculan dan beken di beberapa wilayah sebut saja Sumatera, Batam, Kalimantan, Sulawesi bahkan di Jakarta. Brand dari thrive yang tadinya barang bekas menjadi 'barang impor' dengan keterbukaan penerimaan atas 'thrifting culture'.


Hal ini terbukti pada Gen Z, sebut saja Ria (29th) yang merupakan karyawati salah satu Perusahaan di Jakarta. Ria mengatakan, thrifting adalah kegiatan yang menyenangkan, tak hanya dapat baju berkualitas tapi juga dengan harga yang murah, ramah di kantong. Ria mengaku sejak mahasiswa dia sudah menyukai thrifting, apalagi sekarang dengan maraknya padu padan thrifting yang juga sangat stylish. Belum lagi menurut Ria dia bisa menyelamatkan bumi dari sampah baju-baju bekas. "Kalau aku kak, membeli baju-baju thrifting itu selain hobby bisa membantu mengurangi sampah ya, terutama baju. Kita kan ga perlu beli baju-baju baru, tapi kemudian juga ini malah justru menambah tumpukan sampah di bumi".


Ria merupakan bagian dari 83% Gen Z yang telah membeli barang-barang bekas untuk kebutuhan sehari-hari mereka (https://HypeAbis.Id/, 2023). Di Indonesia, survey Goodstats menyebut 49,4% anak muda pernah membeli fashion bekas, sedangkan 34,5% belum mencoba dan 16,1% tidak tertarik mencoba thrifting (https://journal.nurscienceinstitute.id/, 2023). Tak hanya di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di Inggris, Dimana ThredUp mengungkapkan bahwa 677% dari Generasi Milenial dan Gen Z di Inggris membeli pakaian bekas (https://kompas.id/, 2024).


Kesadaran lingkungan, hemat akan finansial dan gaya uniklah dengan berbagai preferensi yang bersifat berkelanjutan (sustainable) menjadi alasan Gen Z untuk lebih memilih thrifting sebagai alternatif pilihan untuk fashion (https://liputan6.com/, 2024).
Kepekaan Gen Z atas thrifting, adalah salah satu bentuk impact dalam pilihan produk sustainable yang menjadi bagian dari customer behaviour atau perubahan konsumen dari sisi market. Ini mengakibatkan demand terhadap baju-baju thrifting menjadi naik dan menjadi pangsa pasar tersendiri. Akan tetapi tak selamanya dengan perubahan customer behaviour, ini juga menjadi dampak positif bagi pelaku industri.


Thrift shop sendiri bagi Gen Z dianggap mengurangi atau menekan emisi di industri fashion. Menurut United Nations Climate Change News (2019), sektor fashion menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 10%, dengan penggunaan energi yang intensif. Bahkan statistic sektor fashion menghasilkan 2,1 miliar ton CO2eq atau setara 4% dari emisi karbon di seluruh dunia, dengan tiga negara industri terbesar, Prancis, Jerman, dan Inggris. UNEP (2021), mencatat bahwa sektor fashion menggunakan 93 miliar m3 air/year. Hal ini dikarekan ada proses pewarnaan dan pemrosesan kain yang turut menyumbang sekitar 20% dari air limbah industri fashion secara global. Sehingga industri fashion menyumbang 10% dari emisi karbon tahunan diberbagai belahan dunia diperkirakan meningkat lebih dari 50% pada 2030.


Pertumbuhan bisnis fashion yang berkembang setelah 15 tahun terakhir turut mendorong tumbuhnya pembeli hingga 60% dari kalangan Gen Z, sehingga ini menjadi perhatian luas dan tentu ini merubah cara komunikasi dan perspektif baru terhadap thrifting dengan istilah gentrification of thrifting. Fenomena ini merupakan keterkaitan antara keberlanjutan dan keadilan sosial mengenai situasi lingkungan hari ini. Seperti apa yang diposting oleh Leah Thomas (@greengirlleah) dengan judul There Is No Such Thing as The Perfect Sustainability Activist dalam instagramnya.


Perubahan customer behavior, gagasan tentang akuntabilitas vs cancel culture dalam merespon dari berbagai merek yang sebaliknya, atau tidak berkelanjutan. Green washing adalah salah satunya, seperti hal nya janji kosong yang ditujukan kepada konsumen, namun ini tentu sangat tidak terlihat gap antara standard dan aktualnya sehingga kita sulit membedakan. Sama halnya Ketika H & M meluncurkan lini conscious, Boohoo merilis koleksi recycled atau berbagai industri baja yang merilis produk low carbon steel misalnya, kita akan langsung berfikir bahwa ini hanyalah sekadar strategi pemasaran. Tentu ini menyisakan pertanyaan, apakah cancelling merek benar-benar berdampak positif lebih dari sekadar trend media sosial? Tidakkah kita justru akan lebih baik memberikan produsen-produsen produk ini berkembang kea rah yang lebih positif.


Apa sebenarnya cancel culture?
Melansir dari https://tirto.id/, 2021, cancel culture diadaptasi dari sebuah lagu era 1980-an, dengan istilah slang yang relative tidak jelas "cancel". Istilah ini kemudian berkembang dan diadopsi oleh berbagai platform media sosial, bahkan untuk melabeli public figure tertentu, gagasan politik hingga bisnis. Habermas dalam Jurnal Communication and the Public (1962), cancel culture tak hanya dalam ranah privasi, namun juga terdapat dalam ruang public, baik secara online maupun offline.


Cancel culture merupakan penolakan individu melalui platform online yang mengakibatkan pengucilan dan mempermalukan orang. Eleman cancel culture adalah Dimana individu, organisasi menyensor, memecat atau mendorong individu untuk mengundurkan diri setelah dianggap melanggar norma sosial, adat istiadat, dan hal tabu (Jurnal First Monday, Vol 26, No 7, 5 Juli 2021). Padahal cancel culture juga menjadi hak pilih individu guna menarik perhatian individu lainnya, dari suatu tindakan atau tindakan yang ofensif.


Cancel culture adalah ekspresi hak pilihan, dalam hal ini adalah pilihan untuk menarik perhatian dari seseorang atau sesuatu tindakan atau ucapan ofensif. Dari sinilah mengapa cancel culture mendorong kebiasaan mempermalukan secara publik, yang membuat individu maupun merek takut untuk mengajukan pertanyaan, berbagi pandangan, atau berbuat kesalahan. Akibatnya, langkah awal menuju masa depan yang lebih berkelanjutan menjadi semakin sulit. Jika sebuah merek meluncurkan lini produk berkelanjutan tetapi hanya mendapat tuduhan greenwashing, dukungan yang rendah, dan penjualan yang buruk, kemungkinan besar merek tersebut tidak akan berinvestasi lebih jauh dalam perubahan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun