Mohon tunggu...
Noperman Subhi
Noperman Subhi Mohon Tunggu... ASN -

Noperman Subhi, S.IP, M.Si, lahir di Pagaralam (Sumsel) 13 november 1969. Lulus S1 Ilmu Pemerintah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan S2 Magister Administrasi Pendidikan di Universitas Sjakhyakirti. Sekarang Sebagai ASN di Dinas Pendidikan Sumsel. Aktif menulis artikel dan cerita Pendek. Karya tulis yang pernah diterbitkan, “Musim Kopi dan Gaya Hidup” (2001), “Jas Biru Dewan” (2002) dan “Memotret Guru Dari Kejauhan” (2016), “20 Kegagalan Menembus Publikasi” (2017) dan “Motor Matik Milik Bapak (2017).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sejarah dan Nilai Hari Santri

22 Oktober 2017   10:08 Diperbarui: 22 Oktober 2017   10:30 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Kamis, 22 Oktober 2015, di Mesjid Istiqlal Jakarta, presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Hari Santri Nasional dikukuhkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan Hari Santri Nasional. Walaupun masih muncul sikap pro dan kontra, Penetapan Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober ini disambut baik oleh umat Islam, khususnya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Mereka menilai bahwa pemerintah telah mengakui bahwa Kemerdekaan indonesia memang tidak lepas dari peranan santri dan ulama. Tidak hanya tentara yang berperang melawan penjajah, tercatat banyak ulama dan santri yang ikut berperang dan berperan besar dalam pergerakan perjuangan Indonesia untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan NKRI. Mereka ini diantaranya K.H. Hasyim As'yari dari NU, K.H. Ahmmad Dahlan dari Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al-Irsyad dan Mas Abdul Rahman dari Matlaul Anwar serta 17 nama-nama perwira Pembela Tanah Air (Peta) yang berasal dari kalangan santri.

Penetapan Hari  Santri  Nasional pada dasarnya bukan hanya sekedar agenda kepentingan kelompok tertentu, tetapi ditetapkan untuk memperkuat semangat kebangsaan, mempertebal rasa cinta tanah air, memperkokoh integrasi bangsa dan memperkuat tali persaudaraan, yang ini semua demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Jokowi mengatakan penetapan Hari Santri Nasional merupakan bentuk penghargaan pemerintah terhadap peran serta santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Penetapan Hari Santri ini merujuk pada dikeluarkannya Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Pendiri NU KH. Hasyim Asy'ari pada masa perang kemerdekaan melawan sekutu. Resolusi jihad lahir melalui musyawarah ratusan kyai-kyai dari berbagai daerah di Indonesia untuk merespon agresi Belanda yang ke-II. Resolusi Jihad dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945. Dalam resolusinya, KH. Hasyim Asy'ari sebagai ulama menyerukan agar para santri berjihad.

KH. Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa membela tanah air dan mengusir kaum penjajah serta mempertahankan NKRI hukumnya fardlu'ain (wajib) bagi bagi warga nahdliyin (NU), setiap muslim dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Resolusi Jihad inilah yang akhirnya memicu terjadinya peristiwa heroik di Surabaya. Seruan Jihad telah membakar semangat para santri di Surabaya untuk menyerang markas Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.

Dalam pertempuran ini, yang berlangsung 3 hari berturut-turut (27-29 Oktober 1945) Mallaby tewas bersama dengan lebih dari 2000 pasukan Inggris. Tewasnya pimpinan Brigade ke-49 Mahratta dan pasukannya membuat amarah angkatan perang Inggris sehingga berujung pada peristiwa perang 10 November 1945. Yang kemudian ditetapkan menjadi Hari Pahlawan.  

Pada awalnya Jokowi mengusulkan 1 Muharam di tetapkan sebagai Hari  Santri  Nasional, Namun akhirnya tanggal 22 Oktober secara historis lebih tepat dijadikan Hari Santri Nasional, alasannya karena penetapan ini telah memberikan penghormatan kepada perjuangan para santri dan jasa-jasa pesantren di masa lalu yang luar biasa untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Hari Santri Nasional tidak sekadar memberi dukungan terhadap kelompok santri. Justru penetapan Hari Santri sebagai tanda penghormatan negara terhadap sejarahnya sendiri dan sesuai dengan ajaran Bung Karno yang bertitel "Jas Merah" (Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah). Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah.

Beberapa alasan yang setuju apabila 1 Muharam di tetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Pertama, apabila 1 Muharam ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh pemerintah, peringatan 1 Muharam bisa menjadi lain karena hari santri dan 1 Muharam dapat menjadi milik bersama dan dirayakan seluruh bangsa Indonesia. Kedua, pemaknaan Hari Santri Nasional nantinya tidak terlepas dari pemaknaan 1 Muharam. 1 Muharam yaitu peringatan peristiwa hijrahnya orang Islam dari Makkah ke Madinah yang dipimpin Muhammad SAW. Hijrah sendiri merupakan satu bentuk keberanian orang Islam untuk melakukan perubahan sosial yang fundamental dengan cara meninggalkan semua kehidupan material maupun sosial mereka di Makkah dan membangun harapan baru di Madinah.

Ada anggapan bahwa penetapan Hari Santri Nasional sebagai keputusan politik pemerintah dalam rangka memenuhi janji kampanye Jokowi saat menjadi calon presiden (capres) pada pemilihan presiden (pilpres) 2014. Ada juga yang khawatir penetapan Hari Satri Nasional akan mengotak-ngotakkan umat muslim dan istilah santri disimplifikasikan ke NU. Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, MA, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, menolak jika tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional karena Hari Santri Nasional akan menyempitkan makna bahwa perjuangan kemerdekaan hanya diupayakan oleh kalangan santri saja.

Akan muncul jarak antara kaum Nahdiyin (NU) dan kelompok Islam lainnya di Indonesia yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa 22 Oktober 1945. 22 Oktober dianggap tanggal yang tak netral dan cenderung menafikan jasa-jasa santri lainnya yang tidak terlibat di seputar Resolusi Jihad dan keputusan tersebut akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Seandai belum ditetapkan melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015, dengan merujuk pada penetapan Hari Pendidikan yang diambil dari hari lahirnya Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 2 Mei, maka dianggap layak apabila Hari Santri Nasional diambil dari hari lahirnya tokoh Islam Indonesia seperti Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lahir pada tanggal 13 Muharram 1362 atau diambil dari hari lahir tokoh ulama lainnya yang menggambarkan perjuangan santri untuk Islam dan Indonesia.

Menurut tokoh muda Muhammadiyah, Ma'mun Murod Al-Barbasy, sebelum Syarikat Islam (SI) berdiri tahun 1905, Muhammadiyah tahun 1912, NU tahun 1926 dan ormas Islam lainnya lahir, sudah ada yang namanya santri. Saat itu belum di kenal pendidikan umum, yang ada hanya pendidikan pesantren. Dan kebanyakan elit muslim saat itu adalah alumni pesantren (yang dalam perjalanannya tersebar di berbagai ormas Islam). Ma'mun Murod menganggap tanggal 22 Oktober lebih tepat sebagai Hari Resolusi Jihad. Seandai  Hari Santri Nasional itu harus ada, jadikan moment politik yang menggambarkan keterlibatan keseluruhan elemen santri dari berbagai kelompok Islam. Misalnya tanggal 22 Juni 1945, saat itu kaum santri dari SI, Muhammadiyah, NU, Perti dan lain-lainnya di Sidang BPUPKI berhasil menggolkan Piagam Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun