Mohon tunggu...
Noperman Subhi
Noperman Subhi Mohon Tunggu... ASN -

Noperman Subhi, S.IP, M.Si, lahir di Pagaralam (Sumsel) 13 november 1969. Lulus S1 Ilmu Pemerintah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan S2 Magister Administrasi Pendidikan di Universitas Sjakhyakirti. Sekarang Sebagai ASN di Dinas Pendidikan Sumsel. Aktif menulis artikel dan cerita Pendek. Karya tulis yang pernah diterbitkan, “Musim Kopi dan Gaya Hidup” (2001), “Jas Biru Dewan” (2002) dan “Memotret Guru Dari Kejauhan” (2016), “20 Kegagalan Menembus Publikasi” (2017) dan “Motor Matik Milik Bapak (2017).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Adakah Ritual Tradisional Menikmati Pempek?

14 Oktober 2017   11:16 Diperbarui: 14 Oktober 2017   11:26 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dok.pribadi

Bicara mengenai kuliner atau masakan khas Sumatera Selatan umumnya dan Palembang khususnya, orang-orang langsung menunjuk pada pempek, yaitu makanan yang berbahan dasar utama daging ikan dan tepung sagu atau tapioka dengan saus kental berwarna kehitaman yang terbuat dari rebusan gula merah, asam jawa, cabe rawit dan udang kering yang ditumbuk halus, ada juga yang ditambah dengan tongcai (sayuran yang di asinkan. Biasanya dari sawi atau lobak) yang oleh masyarakat Palembang disebut saos cuka (cuko). Cuko yang pedas dan lezat ini memang sengaja dibuat untuk menambah nafsu makan. Satu lagi pelengkap dalam menyantap makanan berasa khas ini adalah irisan timun segar berbentuk dadu.

Menurut Made Astawan (2010), pempek adalah produk pangan tradisional yang dapat digolongkan sebagai gel ikan, sama halnya seperti otak-otak atau kamabokodi Jepang. Ada yang berpendapat, pempek digolongkan sebagai appetizer (makanan pembuka), makanan yang bisa dihidangkan dalam keadaan panas atau dingin. Makanan khas pempek diperkirakan mulai  populer di Palembang tahun 1920-an dan kini sudah terkenal seantero Indonesia, bahkan mancanegara dan tidak heran di setiap kota besar di Indonesia seperti Jakarta, bandung dan Surabaya ada orang yang membuka lapak pempek.

Berdasar cerita rakyat, pempek dimulai dari kisah seorang apek perantau Cina berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) yang merasa prihatin ketika menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di sungai Musi. Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Si apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan yang giling halus dengan tepung sagu atau tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan berkeliling kota Palembang, khususnya di sekitar pasar Sekanak. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan "pek ... apek", maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek. Awalnya si apek memberikan nama makan tersebut dengan istilah kelesan.

Pertama sekali pempek dibuat dari ikan belida. Seiring dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan belida, maka diganti dengan ikan gabus yang harganya lebih murah, tetapi dengan rasa yang tetap gurih. Selain itu, sekarang ini digunakan juga jenis ikan sungai lainnya, misalnya ikan putak, toman dan bujuk. Bahkan dipakai juga jenis ikan laut seperti tenggiri, kakap merah, parang-parang dan ekor kuning. Umumnya untuk mendapatkan rasa pempek yang enak, hanya akan menggunakan tiga jenis ikan, yakni belida, gabus, dan tenggiri.

Bentuk pempek memang memilik beragam jenis dengan variasi isian maupun bahan tambahan lain seperti telur ayam, kulit ikan, maupun tahu. Ragam jenis pempek tersebut antara lain pempek adaan, pempek belah, pempek keriting, pempek kulit, pempek lenggang (pempek yang dipotong-potong dan dicampur dengan telor seperti telor dadar),

pempek lenjer, pempek panggang, pempek otak -- otak, pempek pistel (pempek isi pepaya muda), pempek tahu dan pempek udang, Yang paling terkenal adalah pempek kapal selam.

Ada ungkapan masyarakat "asli" Palembang "kalu pagi idak ngirup cuko, seraso belum makan" (jadi kalau pagi-pagi belum menyantap pempek dan cukanya rasanya belum sarapan). Sepertinya ungkapan tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa orang Palembang pada dasarnya memiliki ritual tradisional dalam menyajikan dan menyantap makanan khasnya. Contohnya, penyajian cuko saat dihidangkan bukannya dengan cara dituangkan di dalam piring yang berisi pempek seperti orang-orang makan pempek pada umumnya, tetapi antara cuka dan pempek di pisah. Pempek dicocol atau dicelupkan ke dalam cuka yang dituang di wadah yang bentuknya kecil atau imut dan bisa di genggam, setelah itu baru pempeknya dimakan dan cuko-nya di hirup.

Berdasarkan cerita rakyat juga, konon katanya, pempek sudah dikenal sejak abad ke-17, yakni saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam. Apabila cerita ini benar adanya, artinya ada kemungkinan pempek menjadi makanan favorit istana dan juga termasuk makanan khas yang disajikan untuk menyambut para tetamu kerajaan. Jangan-jangan Kesultanan Palembang Darussalam juga memiliki tata cara menyajikan dan menyantap pempek untuk dinikmati petinggi dan tamu istimewa istana.

Tidak ada salahnya apabila orang-orang membandingkan dan belajar kembali dengan tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk menyambut tamu (istimewa). Rasanya tidak berlebihan pemerintah Kota Palembang maupun pemerintah Provinsi Sumsel dan segala lapisan masyarakat Palembang yang peduli dengan pempek untuk menggali kembali ritual tradisional dalam menyajikan dan menyantap pempek. Apalagi dalam menyambut Asian Games yang di selenggarakan di Indonesia, khususnya di Palembang. Sesuatu yang tentu akan berkesan dan tak terlupakan seumur hidup bagi peserta Asian Games apabila mereka disambut dengan makan pempek yang penuh dengan ritual tradisional dan ini bisa menjadi "menu" baru untuk menarik wisatawan nusantara dan mancanegara datang ke Kota Palembang pasca Asian Games.

Secara sederhana dapat dijelas bahwa upacara minum teh di Jepang merupakan ritual tradisional Jepang dalam menyambut sekelompok tamu yang diadakan di ruangan khusus dengan cara tidak hanya dituang dengan air panas dan diminum, tuan rumah juga harus bertanggung jawab dalam mempersiapkan situasi yang menyenangkan untuk tamu seperti memasang lukisan dinding, bunga dan mangkuk keramik yang sesuai dengan musim dan status tamu yang diundang. Upacara minum teh ini merupakan cerminan kepribadian dan pengetahuan tuan rumah.

Sepertinya pemerintah Kota Palembang maupun pemerintah Provinsi Sumsel dan segala lapisan masyarakat Palembang yang peduli dengan pempek masih punya banyak waktu untuk merekonstruksi kembali ritual tradisional makan pempek ala Kesultanan Palembang Darussalam sehingga nilainya layak ritual tradisional minum teh ala Jepang saat menjamu tamu-tamu istimewanya. Jangan biarkan derajat makanan khas pempek menjadi rendah dengan banyaknya penjual pempek di jalanan yang tidak mengindahkan mutu bahan, mutu pengelolaan dan tata penyajian. Boleh saja pempek menjadi makanan rakyat, tetapi tidak berarti harus dijual murahan sehingga mengabaikan mutu dan asupan gizi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun