Mohon tunggu...
Noorhani Laksmi
Noorhani Laksmi Mohon Tunggu... Administrasi - writer, shadow teacher, Team Azkiya Publishing dan Sanggar Rumah Hijau, Admin Komunitas Easy Writing

http://noorhanilaksmi.wordpress.com FB : Nenny Makmun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | The Sad Clown (Part 2)

16 Februari 2020   12:44 Diperbarui: 16 Februari 2020   12:46 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber picture : freepik.com

Tapi di lain hari tiba-tiba aku merasa sedih dan ingin marah, aku sebenarnya seperti anak lain juga. Aku merasa bosan dengan nasi goreng, kentang goreng, terapi-terapi fisik, terapi wicara, dan ajaran memaksakan aku menghafal tulisan dan angka yang aku tak suka dan harus aku lakukan di ruang sunyi senyap itu juga.

Ruang sunyi senyap yang kadang menghadirkan orang-orang itu saja untuk mengajarkan aku berbagai terapi yang membosankan.

Mungkin kalau di tempat lain ada kemungkinan aku tak bosan, tapi aku tak bisa berucap apa-apa. Mulutku rasanya kaku, yang keluar dariku hanya teriakan-teriakan tanpa arti dan lagi-lagi umi akan menyumpal mulutku dengan kedua tangannya bila aku sedang berusaha untuk bisa berbicara.

Berulangkali perlakuan menyumpal mulutku membuat aku malas untuk bicara sekalian, biarlah aku kembali dengan duniaku sendiri. Berpikir dan berbicara hanya untukku.

Buat apa semua terapi itu, bertahun-tahun tak mengubahku dan aku masih saja terjebak duniaku yang sendiri dan tak tersentuh.

Paksaan-pakasaan terapi membuat aku marah dan ngamuk. Kalau aku ngamuk, aksiku adalah membenturkan kepalaku ke tembok, baru umi berhenti berdagang dan abi bangun dari istirahatnya, kelabakan mengingat aku menyebut nama Allah,"Zein istighfar, Zein istighfar Nak ... Ya Allah salah apa kami kenapa Kau berikan satu-satunya anak seperti ini ...." ratap umi yang kerap dia ucapkan.

"Ya Allah salahkah aku lahir di dunia? Mengapa mereka merasa kecewa dengan keberadaanku?" 

Beda dengan abiku yang jauh lebih sabar daripada umiku yang biasanya balik marah menghardikku,"Hei Zein diam! Diam! Terus saja benturin kepala kamu Biar! Biar sekalian selesai. Umi capai punya anak gak bisa apa-apa!"

Aku semakin tak terima dengan kata-kata umi yang ternyata masih menolak kehadiranku yang seperti ini. Andai mereka tahu,"Umi, Abi aku ingin diterima dengan ikhlas dengan kekuranganku, jangan sembunyikan aku terkurung di ruangan luas nan sunyi senyap sementara kalian berdua masih bisa keluar-keluar di luar sana, jangan sembunyikan aku ... aku yang kalian angap  akan memalukan. Peluk aku saat aku sedih dan gembira, karena terkadang aku pun tak mengerti apa yang sesungguhnya aku rasakan, bola gelembung ini begitu misterius, tolong keluarkan aku dari sini, bantu aku! Jangan sembunyikan aku terus-menerus sampai kapan?"

***

Dan setelah tragedi puncak amarah karena aku mengamuk sampai bola basket dan botol-botol tak lagi bisa menenangkan aku. Bahkan aku berhasil keluar berlari telanjang kaki dari ruang sunyi senyap juga tanpa baju kuberlari ke jalanan utama kompleks, tapi segera aku ditangkap satpam kompleks diamankan lagi di ruangan sunyi senyap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun