Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perlukah Indonesia Diselamatkan?

4 Agustus 2020   19:29 Diperbarui: 4 Agustus 2020   19:26 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Noor Johan Nuh

Setelah Prabowo masuk ke dalam pemerintahan maka tidak ada lagi oposisi di era pemerintahan Jokowi jilid dua.  Masuknya Prabowo yang adalah ketua umum partai Gerindra kemudian diikuti oleh partai lain hingga yang tersisa di luar pemerintahan tinggal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat,  yang masing-masing memiliki perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 8,2% dan 7,7%, total 15,9%. 

Jumlah persentase yang tidak mencukupi untuk  mencalonkan presiden dan wakil di 2024 (presiden threshold 20%), hingga sangat mungkin pada Pilpres 2024 hanya ada calon tunggal, persis sama dengan  calon tunggal di Pilwakot kota Solo pada Desember nanti.

Dengan dukungan lebih dari delapan puluh persen kursi di DPR maka apapun yang diajukan oleh pemerintah dengan mudah akan mendapat persetujuan DPR. Terlebih lagi beberapa orang ketua umum partai menjadi menteri yang berarti dia adalah pembantu presiden.  Sedangkan anggota DPR adalah perwakilan partai yang tunduk pada ketua umum jika tidak ingin di PAW (Penggantian Antar Waktu).                              

Memang dalam hukum positif kita tidak mengenal kosa kata "oposisi", namun untuk membedakan mereka yang berada dalam "posisi" di pemerintahan serta pendukungnya, maka yang di luar itu wajar saja untuk disebut dengan diksi "oposisi".

Dengan mayoritas partai di DPR mendukung pemerintah, maka dengan mudah Perppu no 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Keuangan, disahkan menjadi Undang-Undang no 2 tahun 2020, meskipun mendapat banyak penolakan  dari masyarakat, dan kini sedang diuji di MK.                                                                                                                      

Juga mendapat penolakan dari masyarakat Rencana Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP). Setelah dua Ormas Islam terbesar yakni Muhammadiah dan NU serta Majelis Ulama menolak RUU ini---dibarengi demo besar-besaran yang dilakukan berbagai Ormas di depan Gedung DPR,  baru lah DPR bersikap menunda (bukan membatalkan) membahas RUU tersebut.

Perppu no 1 tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang ini setidaknya mengamputasi fungsi anggaran DPR karena disebut dalam undang-undang itu; "Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa untuk mengubah postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara, diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah."

Padahal, dalam UUD pasal 23 ayat 1 ditulis; "Anggaran Pandapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengeloalaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Konstitusi tegas menyebut bahwa perubahan postur anggara harus dibahas dengan DPR, bukan berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Dalam pasal 27 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa segala tindakan serta keputusan yang diambli berdasarkan undang-undang ini tidak boleh dianggap sebagai kerugian negara. Dan dalam proses pengambilan keputusan terkait penanganan krisis tidak bisa digugat secara perdata, secara pidana, maupun melalui peradilan tata usaha negara.

Selain mengamputasi fungsi anggaran  DPR, undang-undang ini memberi imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut di lembaga peradilan. Memberikan imunitas pada saat krisis sepatutnya belajar dari krisis tahun 1998 yang pada waktu itu pemerintah memberikan blanket guarantee dana nasabah di bank, dan pemerintah memberi  Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada perbankan, sampai hari ini kasus pelanggaran BLBI belum tuntas.       

Dalam kondisi lebih dari delapan puluh persen suara di DPR mendukung pemerintah, deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menjadi secercah harapan agar suara rakyat yang selama ini seperti tersumbat penyalurannya ke DPR, dapat dialirkan kembali melalui KAMI.

Berbagai lintas pakar, lintas agama, hadir dalam deklarasi ini. "KAMI pada pemahaman saya merupakan sebuah gerakan moral seluruh elemen dan komponen bangsa lintas agama, suku, profesi,  untuk kepentingan politik kita bersatu", kata mantan Ketua Muhammadiyah Din Syamsudin.

Sejumlah tokoh yang hadir antara lain; Dr. Syahganda Nainggolan, Dr. Ichsanuddin Noorsy, Dr. Refly Harun, Dr. Said Didu,  Rocky Gerung, serta Dr. Rizal Ramli mengikuti secara virtual, seperti memberi sinyal bahwa Indonesia perlu diselamatkan.

Bergabungnya banyak tokoh nasional pada KAMI sejatinya  dapat membongkar sumbatan politik atau tertutupnya aspirasi rakyat kepada DPR. Bagaimana pun republik ini milik kita bersama. Memperingati pemerintah atau penguasa adalah mekanisme demokrasi yang harus terus dirawat, dan ucapan Lord Acton hampir dua ratus tahun yang lalu masih tetap relevan bahwa; Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely---Kekuasan itu cenderung korup, dan kekuasan absolut korup total lah. {}

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun