Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Penyelamat Republik Indonesia

22 Agustus 2018   09:52 Diperbarui: 22 Agustus 2018   10:03 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Noor Johan Nuh

"Kekeliruan fatal yang dilakukan Belanda dalam usaha menjajah Indonesia kembali adalah; salah memperhitungkan yang hal yang sangat fundamental yaitu mengenai sikap   Sri Sultan Hamengku Buwono IX",  demikian pendapat George Mc Turnan Kahin, wartawan Amerika yang berada di Yogyakarta pada waktu agresi militer Belanda kedua. Kemudian Mc T Kahin dikenal sebagai  sejarawan dan akademisi politik dari Cornell University, Amerika Serikat. Kahin juga  sebagai direktur Program Asia Tenggara, dan banyak menulis mengenai sejarah Indonesia.  Ia berada di Yogyakarta pada waktu agresi militer Belanda kedua, 19 Desember 1948, berkenaan kerja jurnalistik meliput Konferensi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang.

Patut saja jika Belanda beranggapan bahwa Sri Sultan adalah bagian dari mereka, atau setidaknya berpihak pada Belanda karena sejak usia empat tahun tinggal pada keluarga Belanda, mengikuti pendidikan di sekolah Belanda---dari taman kanak-kanak hingga kuliah  di negeri Belanda.    Prediksi Belanda mengenai  sikap atau waktak Sri Sultan ternyata salah total. Diluar perkiraan mereka bahwa Sri Sultan adalah seorang patriot sejati,  atau republikan tulen, bahkan nasionalis radikal.

Berbagai usaha merangkul Sri Sultan dilakukan oleh Belanda, diantaranya hendak menjadikan beliau sebagai Wali Negara dengan kekuasaan tidak sekedar di Yogyakarta atau Jawa Tengah, akan tetapi meliputi seluruh pulau Jawa dan Madura, namun Sri Sultan bergeming.

Sebetulnya Belanda  sudah harus   menyimak sikap republikan radikal Sri Sultan dalam menyikapi kemerdekaan Indonesia. Sehari setelah Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, Sri Sultan mengirim kawat ucapan  selamat kepada Soekarno dan Hatta. Dua hari kemudian, 20 Agustus 1945, Sri Sultan, kembali mengirim kawat kepada Presiden Soekarno yang isinya menyatakan bahwa kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah bagian dari Republik Indonesia. Sri Sultan mengambil langkah strategis dan mengambil keputusan penting  mendukung perjuangan Republik Indonesia yang berarti;                                                                                                                 

Pertama, menyerahkan Daerah Swatantra Yogyakarta kepada Pemerintah Republik Indonesia, sehingga secara yuridis Sri Sultan tidak lagi mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab atas daerah Yogyakarta, kecuali Kraton. Ini adalah pengorbanan besar Sri Sultan demi kelangsungan Republik Indonesia yang baru berumur tiga hari.                                                                                  

Kedua, ketegasan sikap dan dukungan Sri Sultan  berdiri di belakang perjuangan Pemerintah Republik Indonesia dalam satu pengumuman resmi, luar biasa besar dampaknya dan  sangat menguntungkan  bagi Republik Indonesia, sebaliknya merupakan kerugian di pihak Kolonial   Belanda.                 

Ketiga, sebagian dari kekayaan pribadi dan kesultanan disumbangkan untuk  perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru lahir karena jelas pemerintah tidak mempunyai uang. Pada saat Yogyakarta menjadi Ibukota Perjuangan,  Sri Sultan yang menyediakan gaji untuk pejabat dan pegawai Republik Indonesia di Yogyakarta. Almarhum Ibu Rahmi Hatta hingga akhir hayatnya masih  menyimpan uang gaji sebagai Wakil Presiden yang diberikan oleh Sri Sultan sebagai kenang-kenangan dan sebagai bukti sejarah.                                                                                                                   

Tanpa menghiraukan  pembalasan dari pihak Belanda atas diri dan tahtanya, bujukan dari pihak  Belanda yang ingin mempengaruhi Sri Sultan supaya sudi ikut Pemerintah Belanda ditolak  mentah-mentah. Padahal, sebagai Sultan dari kerajaan yang berdaulat, memiliki wilayah dan rakyat, bahkan pasukan legiun kerajaan, Sri Sultan dapat mengabaikan proklamasi kemerdekaan Indonesia, seperti dilakukan oleh banyak kerajaan di Indonesia pada waktu itu.  Dan Sri Sultan pasti mengetahui bahwa sesuai dengan perjanjian Wina tahun 1942, negara-negara Sekutu bersepakat untuk mendapatkan kembali koloni mereka  yang diduduki Jepang---koloni-koloni dikembalikan kepada penguasa  masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari wilayah yang didudukinya. 

Artinya, Sultan sangat memaklumi  bahwa Belanda sebagai pemenang perang dunia kedua akan menguasai kembali Hindia Belanda, sesuai dengan perjanjian Wina, dan proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah pelanggaran perjanjian tersebut. Menjadi pertanyaan, mengapa Sri Sultan memilih mendukung kemerdekaan Indonesia yang belum jelas eksistensi dan kesinambungan keberadaannya, padahal beliau adalah raja dari  Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat yang memiliki eksistensi serta kedaulatan yang  diakui oleh Kerajaan Belanda dan negara-negara Sekutu lainnya.

Setelah tentara Belanda yang membonceng tentara Sekutu tiba di Jakarta, kondisi keamanan menjadi tidak kondusif.  Tentara Belanda menteror petinggi Republik,   Sutan Syahrir hampir tewas saat mobilnya diberondong peluru tentara Belanda. Mengalami situasi demikian, Soekarno dan Hatta harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari teror bahkan ancaman pembunuhan oleh tentara Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun