Mohon tunggu...
PKS Non Tarbiyah
PKS Non Tarbiyah Mohon Tunggu... -

Politik tak berhubungan dengan dakwah dan kaderisasi. Tak harus tarbiyah untuk berkiprah. PKS adalah rumah yang lapang bagi semua aktivis. Orang soleh, preman, hingga sosialis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

2016: Nasib KMP, KIH dan Masa Depan Politik Indonesia

6 Januari 2016   14:54 Diperbarui: 6 Januari 2016   15:26 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik Indonesia unik. Apalagi setahun lebih terakhir, dimana suka dan duka Pilpres belum reda sempurna. Dua kubu besar yang bertarung saat pemilihan Presiden, yang kemudian terbawa ke suasana ‘pertarungan’ eksekutif vs legislatif setelah pelantikan Joko Widodo & Jusuf Kalla, masih terus ‘berhadapan’. Dengan segala dinamikanya.

KIH belakangan, sekitar bulan Oktober 2015 di Surabaya, sepakat mengubah nama, mungkin juga mengubah filosofis kebersamaan para partai pendukungnya. Semula mereka menamakan diri Koalisi Indonesia Hebat, menjadi P4, yaitu Partai-Partai Pendukung Pemerintah. Kata “Koalisi” dicopot, karena hanya relevan jelang Pilpres. Secara maknawi, ini upaya ‘melonggarkan diri’ karena KIH, terutama di parlemen, memang tampak berjuang sendiri-sendiri. Dan ada perubahan hubungan signifikan antara partai-partai yang bergabung di dalamnya. Mereka yang tampak solid pada awalnya, ternyata jalan masing-masing. Hanura, Nasdem, plus PPP sempalan, Golkar sempalan, dan tentu saja PDIP sebagai partai pemenang Pemilu, punya arah dan kepentingannya masing-masing.

KMP (Koalisi Merah Putih) yang sejak awal diputuskan sebagai koalisi permanen penyeimbang pemerintah di Parlemen, memang tak berubah nama. PAN belakangan goyah dengan merapat ke pemerintah meski menyatakan tetap di KMP. Suara-suara jatah menteri pun sudah muncul dari PAN. Akhir 2015, PKS pun demikian, tanpa koordinasi KMP masuk ke istana. Harus diakui, kepemimpinan baru PKS, tak punya rekatan sejarah dengan pendirian KMP sehingga chemistry-nya tak terbentuk. PKS pun menyatakan masih di KMP tapi mendekat ke istana. Sesuatu yang membingungkan (dan munafik) bagi publik, tapi sesuatu yang lazim di lapangan politik. Petinggi KMP dikabarkan marah besar terhadap ‘move’ pimpinan PKS yang kekanak-kanakan tersebut.

Dimana PDIP? Secara politis, partai ini menjadi penguasa parlemen. Tapi pasca Jokowi menjadi ‘liar’ usai dilantik jadi Presiden, PDIP tampak linglung karena hilang kendali. Kekuasaan tampak bukan miliknya. Di parlemen KIH tak solid & kalah dalam berbagai pengambilan keputusan. Di eksekutif, PDIP tak bisa masuk ke ruang pengambilan keputusan karena geng baru yang dikuasai Rini Soemarno, menteri BUMN, membangun pagar yang jelas dan tegas sebagai pelindung Jokowi.

Lalu bagaimana dengan Gerindra? Sebagai star maker baik di pemilu legislatif & pengajuan capres (Prabowo), Gerindra masih menjadi leading party meski bukan pemenang. Lobby dan gagasan KMP yang diketuai Prabowo masih menjadi arus utama yang ‘ditakuti’. Magnet Prabowo Subianto juga masih kuat sehingga terus menerus unggul dalam survey dengan tema “Siapa Presiden RI yang pantas saat ini?” - suatu reaksi atas lemhanya kepemimpinan nasional yang memicu alternatif baru bagi publik.

2016 nampaknya akan menjadi tahun pertarungan yang belum mereda. KIH dan KMP dalam bentuk aslinya sudah boleh dilupakan.  Spektrum politik terpisah jadi empat kutub : P4 di kubu eksekutif, PDIP yang gamang sendiri, KMP yang mulai ‘mreteli’ dan Jokowi sendiri dengan ‘kamar-kamar kabinet’ dibawahnya.

Gerindra menjadi sepenuhnya leading party. PDIP, karena berbagai kesamaan kepentingan, terutama soal kendalinya ke eksekutif yang dikebiri ‘geng istana’, akan merapat ke KMP. Partai menengah atas seperti Golkar, terus akan memainkan perannya di jejaring politik yang tersebar merata di eksekutif dan legislatif.

Sementara para oportunis, seperti PAN, PKS dan PPP, terus akan menyingkir dari persaingan dan tak bisa membuat arus sendiri. Mereka terjepit dan hanya bisa bergelayutan di tepi meja pertarungan politik Indonesia.

Kontributor: Aminun Nahari, MSi - mahasiswa doktoral Indonesia di bidang politik, Leicester University, UK

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun