Mohon tunggu...
Noni Anggraeni Taunu
Noni Anggraeni Taunu Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPNVJ Political Student

Halo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggusuran Kampung Pulo dalam Perspektif Keadilan John Rawls

22 April 2021   09:24 Diperbarui: 22 April 2021   09:29 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Proses perubahan tata ruang kawasan perkotaan yang semakin hari semakin berkembang membawa dampaknya tersendiri bagi kondisi pemukiman penduduk didalamnya. Perubahan tata ruang perkotaan yang meliputi perubahan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pemukiman penduduk dan lainnya. Perubahan-perubahan tersebut tidak lepas dari adanya pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang semakin pesat disertai dengan permasalahan yang ada didalamnya salah satunya permasalahan lingkungan. Jakarta sebagai salah satu kota besar di Indonesia tidak luput dari permasalahan dan proses perubahan tata ruang tersebut, salah satu proses perubahan tata ruang yang dilakukan di Jakarta adalah kebijakan penertiban Kampung Pulo.

Kebijakan penertiban Kampung Pulo bertujuan untuk menertiban wilayah Kampung Pulo yang terletak di bantaran Kali Ciliwung, dimana terdapat banyak rumah- rumah penduduk. Penertiban dilakukan karena wilayah tersebut sering kali mengalami banjir serta kondisi lingkungan yang kumuh yang tidak baik bagi kesehatan warga sekitar. Rencana penertiban yang dilakukan pemerintah adalah hendak melakukan pelebaran sungai untuk menanggulangi banjir dan menertiban pemukiman padat penduduk tersebut dengan memindahkan mereka ke rumah susun yang sudah disediakan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga berujar bahwa kegiatan penertiban ini merupakan bagian dari rencana pemerintah menormalisasi Kali Ciliwung. Kegiatan normalisasi Kali Ciliwung tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah tahun 2030 dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR), serta rencana sodetan untuk pembangunan danau serta perubahan peruntukan tanah di Kampung Pulo dan Bidara Cina.

Penolakan warga Kampung Pulo terhadap wacana penertiban diatas menjadi respon utama yang muncul, warga merasa bahwa tanah tersebut adalah tanah adat, sesuai dengan UU Pokok Pasal 3 Nomor 5 Tahun 1960.  Dengan UU tersebut, warga beranggapan pemerintah harus mengkonversi surat- surat kepemilikan adat mereka kedalam sertifkat tanah warga melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) dan Layanan Rakyat Untuk Sertifikat Tanah (LARASITA). Namun, pada pelaksanaannya program tersebut gagal, sehingga mengakibatkan warga Kampung Pulo hanya memiliki surat kepemilikan adat saja. Alasan penolakan kedua adalah mata pencaharian warga yang berada di sekitar Kampung Pulo tersebut sehingga berdampak pada ekonomi yang merugi.

Pemerintah DKI Jakarta sebagai aktor penyelenggara pemerintahan yang juga merupakan aktor utama kegiatan tersebut, memberikan beberapa bentuk ganti rugi kepada warga tergusur diantaranya, menyiapkan rumah susun yang siap huni bagi warga bertempat di kawasan Jatinegara tidak jauh dari Kampung Pulo, kemudian menyediakan adanya biaya kompensasi sebesar 1,5 miliar bagi warga yang memiliki sertifikat tanah dan bangunan asli dan sah dan bila yang tidak maka mereka hanya mendapat bantuan relokasi ke rumah susun. Namun, kembali pada bacaan sebelumnya bahwasanya warga tidak memiliki sertifikat tanah dan bangunan yang sah, sehingga mereka tidak bisa mendapat biaya kompensasi tersebut. Dikutip dari pernyataan, Direktur Ciliwung Merdeka Sandiawan Sumardi, warga sebenarnya mendukung program penertiban tersebut, akan tetapi mereka sangat kecewa sebab hanya dianggap sebagai penduduk liar dan illegal karena tidak memiliki sertifikat tanah dan bangunan yang sah.

Pada akhirnya proses penggusuran Kampung Pulo pun terjadi, pemerintah secara paksa menggusur pemukiman tersebut. Efek yang timbul adalah adanya konflik yang pecah antara warga dan aparat keamanan. Aksi tersebut terjadi ketika  personel Satpol PP dikerahkan Pemda DKI Jakarta untuk menggusur bangunan yang dihuni warga pada Kamis 20 Agustus 2015.

Dalam konteks permasalahan diatas, keadilan nampaknya kurang berpihak pada warga Kampung Pulo. John Rawls salah satu tokoh yang memusatkan perhatiannya pada teori keadilan berpendapat bahwa setiap masyarakat terdapat pemilikan pribadi atas modal dan sumber-sumber daya alam. Dimana menurutnya, bidang pokok keadilan yang utama adalah tentang susunan dasar masyarakat yang meliputi konstitusi, pemilikan pribadi atas sarana- sarana produksi, pasar kompotitif, dan susunan keluarga monogami, Rawls memusatkan diri pada bentuk-bentuk hubungan sosial yang membutuhkan kerjasama. Sehingga Rawls mengatakan, setidaknya ada dua hal yang perlu dikerjakan oleh prinsip keadilan, pertama prinsip keadilan harus memberikan nilai kongkret tentang adil tidaknya institusi- institusi dan praktek institusional, kedua prinsip- prinsip keadilan harus membimbing dalam mengembangkan kebijakan- kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu. (Rawls, 1973: 24). Dari situ, Rawls kemudian menyatakan ada dua prinsip keadilan, yaitu :

  • Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya, meliputi, kebebasan dalam berpolitik, kebebasan berbicara, kebebasan memeluk keyakinan, kebebasan menjadi diri sendiri, serta hak untuk mempertahankan milik pribadi.
  • Prinsip perbedaan dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan. (Rawls, 1973 : 10)

Dari penjelasan sederhana mengenai teori keadilan Rawls diatas bila dikaitkan dengan kasus penggusuran Kampung Pulo maka dapat dilihat ada beberapa prinsip keadilan Rawls yang tidak  terlaksana didalamnya. Dalam prinsip keadilan Rawls yang pertama mengenai kebebasan yang mana didalamnya mencakup kebebasan hak untuk mempertahankan milik pribadi, dalam kasus penggusuran Kampung Pulo prinsip tersebut tidak 

terlaksana. Warga yang kebanyakan hanya memiliki surat adat atas kepemilikan tanah dan bangunan milik  mereka tidak dapat mempertahankan hak tersebut dikarenakan syarat dari pemerintah yang mewajibkan adanya kepemilikan surat tanah dan bangunan yang sah. Kegagalan fasilitas program pemerintah terkait konversi surat-surat menyebabkan warga gagal mendapat surat bangunan yang sah dan ganti rugi, bahkan mereka hanya dianggap sebagai warga illegal saja.

Mengenai prinsip perbedaan yang disampaikan Rawls dimana perbedaan ekonomi dan sosial haruslah diukur agar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi mereka yang berada dipihak yang paling kurang beruntung. Dalam kasus penggusuran Kampung Pulo, warga Kampung Pulo-lah yang menjadi pihak yang paling kurang beruntung dikarenakan beberapa faktor, baik dari segi ekonomi, kesejahteraan, maupun kepemilikan wewenang. Dalam kasus ini mereka menjadi pihak yang paling dirugikan, selain harus kehilangan tempat tinggal tanpa ganti rugi (bila yang tidak memiliki surat tanah yang sah), serta harus kehilangan mata pencaharian dan mengalami perubahan pola kehidupan sosial. Prinsip ini gagal diterapkan dalam kasus tersebut, sebab pada kenyataannya dilansir dari Liputan6.com setelah mengalami penggusuran warga dihadapkan kepada beberapa beban biaya hidup tambahan yang justru semakin memberatkan kehidupan mereka. Namun, ada juga yang merasa nyaman tinggal di rusun karena mereka tidak harus mengalami kebanjiran lagi.

Dari kasus diatas, ada beberapa solusi yang dapat ditawarkan supaya prinsip keadilan Rawls dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat korban penggusuran Kampung Pulo, yang paling utama adalah diperlukannya kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang terlibat seperti, diantaranya pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang diharapkan dapat memfasilitasi secara maksimal mengenai proyek tersebut seperti menyediakan tempat tinggal yang layak dan tidak membebani finansial warga terdampak, menyiapkan ganti rugi dengan syarat yang mudah. Kemudian, warga juga diharapkan dapat memiliki sikap kooperatif agar tindakan penggusuran paksa dapat dihindarkan. Dalam konteks lain, program ini juga termasuk kedalam upaya pemerintah dalam mewujudkan hak asasi manusia, dalam bentuk menjamin pemenuhan kehidupan yang layak bagi warga.

Sumber Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun