Mohon tunggu...
Frediyanto Hendrayani
Frediyanto Hendrayani Mohon Tunggu... Lainnya - aku adalah aku

Aku hanyalah debu dialas kakiMU, bagaimana bisa aku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketidakterbatasan Manusia

14 September 2021   23:09 Diperbarui: 14 September 2021   23:16 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia memiliki keterbatasan. Itulah yang kita manusia yakini. Keyakinan kolektif ini rupanya sudah mendarah daging, sehingga sulit untuk diubah. Misalnya, kita yakin bahwa kemampuan atau pengetahuan kita adalah terbatas. Kita tidak mampu untuk mengetahui seluruh pengetahuan karena kita adalah manusia yang memiliki keterbatasan. Tapi, pernahkah kita memikirkan bahwa kita juga adalah manusia yang memiliki ketidak terbatasan? Dalam keterbatasan sebenarnya manusia menyingkapkan ketidak terbatasannya. Itulah kebenaran tentang hakikat manusia.

Manusia yang berpengetahuan memiliki juga kemampuan untuk bertanya. Ketika ia tidak puas akan pengetahuan yang sudah ia miliki maka ia akan bertanya. Rasa ingin tahu membuatnya ingin bertanya terus menerus tentang berbagai hal. Setiap hari, selalu ada pengalaman baru, pengetahuan baru, dan setiap hari pula ia akan bertanya. Tiada hari tanpa pengalaman baru, pengetahuan baru dan tiada hari tanpa bertanya. Jadi, selama manusia itu hidup, setiap hari ia akan mendapat pengalaman baru, pengetahuan baru dan bertanya.

Hal ini menandakan bahwa betapa tidak terbatasnya cakrawala wawasan yang dimiliki manusia, sehingga tidak pernah ada hari yang terlewatkan baginya untuk memperoleh pengalaman, pengetahuan dan bertanya. Ia baru akan berhenti memperoleh pengalaman baru, pengetahuan baru dan bertanya pada saat kematian, karena kematian adalah puncak dari segala pengalaman, pengetahuan dan bertanya. Kematian mengangkat dan membulatkan seluruh pengalaman, pengetahuan dan pertanyaan menjadi keabadian, menjadi kenangan. Luar biasa bukan?

Saya teringat sebuah film berjudul Lucy. Dalam film itu dikatakan bahwa sampai saat ini, manusia bahkan yang paling cerdas sekalipun hanya menggunakan 10% kapasitas otaknya. Bisa anda bayangkan, hanya dengan 10% kapasitas otaknya, manusia sudah mampu menghasilkan sesuatu yang luar biasa hingga saat ini. 

Padahal, seperti yang sudah dikatakan diawal, bahwa setiap hari manusia selalu mendapat pengalaman baru, pengetahuan baru dan selalu bertanya. Tetapi ternyata walaupun setiap hari ia memperoleh pengalaman baru, pengetahuan baru dan selalu bertanya, kapasitas otak yang ia gunakan hanya sebesar 10%. Bisa anda bayangkan, bagaimana jadinya, jika manusia yang setiap hari memperoleh pengalaman, pengetahuan dan selalu bertanya itu menggunakan kapasitas otaknya lebih dari 10% itu?

Sebenarnya bukan hanya terbatas pada pengalaman yang setiap hari ia dapatkan, pengetahuan yang setiap hari ia dapatkan; bukan hanya terbatas pada pertanyaan yang setiap hari bisa muncul dan bukan hanya terbatas pada kapasitas otak yang hanya 10% ia gunakan. Manusia itu sendiri adalah diri pribadi yang tidak terbatas. Seorang pria tua yang sudah 50 tahun lebih menikah suatu saat ditanya: "sudahkah anda benar-benar mengenal istri anda?" ia menjawab: "belum.

Saya belum betul-betul mengenal dia secara final, karena bagi saya istri saya adalah pribadi yang memiliki ketidak terbatasan, sehingga sampai saya mati pun saya tidak akan seratus persen mengenal dia. Justru karena saya belum betul-betul mengenal dia itulah yang membuat saya tetap setia dan mencintai dia, karena setiap hari adalah hari baru untuk terus mengenal istri saya". Ini membuktikan bahwa pribadi seseorang adalah pribadi yang memiliki ketidak terbatasan.

Cerita pak tua tadi menyiratkan suatu hal yang penting bagi kemanusiaan: "cinta kepada orang lain muncul karena orang lain dilihat sebagai manusia yang memiliki kepribadian yang tidak terbatas". Beberapa puluh tahun yang lalu, hal ini sudah didengung-dengungkan oleh Emanuel Levinas, filsuf Perancis keturunan Yahudi. 

Bagi Levinas, sangat penting melihat orang lain sebagai pribadi yang tidak terbatas atau menurut konsep Levinas wajah orang lain sebagai jejak yang tak terbatas, karena relasi yang etis dengan orang lain berawal dari perjumpaan secara nyata wajah dengan wajah. Melihat orang lain hanya terbatas pada hal-hal tertentu saja, justru akan memunculkan relasi yang tidak etis. Sejarah sudah membuktikan hal ini. Lebih dari enam juta orang, sebagian besar adalah orang Yahudi, mati ditangan Nazi dalam Perang Dunia II.

Sejak 1975 hingga 1979 rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot membunuh sekitar dua juta orang di Kamboja. Genosida di Rwanda tahun 1994 memakan korban sekitar 800 ribu orang suku Tutsi yang tewas dibantai oleh pihak Hutu. Dalam sejarah negara kita sendiri, diperkirakan korban yang jatuh akibat peristiwa G30S tahun 1965 mencapai dua juta orang. Semua peristiwa itu dapat terjadi karena orang lain dilihat serba terbatas sebagai "Yahudi, suku lain, atau antek-antek PKI", tidak dilihat sebagai manusia yang memiliki ketidakterbatasan diri. Levinas sendiri kehilangan semua anggota keluarganya ditangan Nazi karena ke-Yahudi-annya.

Konsep "manusia memilki keterbatasan" patut dicurigai. Konsep ini membuat wajah manusia menjadi suram, tidak optimis, dan tidak bisa mencintai orang lain secara luhur. Mengapa? Karena saat seseorang melihat dirinya memiliki keterbatasan, ia menjadi tidak optimis akan hidupnya dan melihat orang lain pun serba terbatas sama seperti dirinya. Tetapi, jika kita melihat diri kita sebagai pribadi yang memiliki ketidakterbatasan, maka kita akan melihat orang lain juga sebagai pribadi yang memiliki ketidakterbatasan sama seperti kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun