Dalam satu kesempatan diriwayatkan Rasulullah SAW sedang melepas lelah dibawah pohon kurma, kemudian tanpa beliau sadari seorang kafir Quraisy mendekati dengan cepat menghunus pedang ke leher Beliau, kemudian mengancam sang Nabi untuk membunuh. Sang Kafir menyampaikan kurang lebihnya seperti ini, "...Muhammad!! aku akan membunuhmu, sekarang.. siapa yang akan menolongmu?" dan ternyata dari lisan mulia beliau muncul kalimat ini, "... Allah yang menolongku!" selanjutnya bergetarlah tubuh sang kafir dan tergeletak pedangnya.Â
Keadaan berganti, Rasulullah mengambil pedangnya kemudian menghunuskan kekafir quraisy, dan bertanya hal serupa, ".. siapa yang  akan menolongmu?" seketika, sang kafir sampaikan bahwa yang bisa menolong adalah belas kasihnya Sang nabi. Dan segala puji bagi Allah SWT, Nabi memaafkannya. Melihat kesantunan penuh belas kasih sang nabi dengan mata kepalanya sendiri, akhirnya sang Kafir bersyahadah untuk masuk kedalam islam.
Lengkap kisah sesuai nash haditsnya bisa dibaca di bawah ini:
(Jabir mengisahkan) bahwa beliau ikut berperang bersama Rasulullah saw, perang arah Najd (yakni perang Dzatur Riqa'). Saat kepulangan (menuju madinah) Jabir juga ikut mengiringi. Sampailah rombongan di sebuah lembah yang banyak ditumbuhi tanaman, diwaktu siang. Rasul pun singgah, shahabat berpencar berteduh dibawah pepohonan. Rasulullah berteduh di bawah sebatang pohon, beliau gantungkan pedang beliau. Berkata Jabir selanjutnya: "Kami tertidur, tiba-tiba Rasulullah saw menyeru memanggil, kami bergegas memenuhi seruannya. Ternyata seorang Badui terduduk di sisi beliau. Rasul berkata: "Orang ini telah mengambil pedangku. Begitu aku bangun pedang telah ditangannya terhunus dihadapanku. Berkata sang Badui: Siapa yang akan membelamu dariku wahai Muhammad ? Aku jawab: Allah ! Pedang pun terjatuh, dan ia terduduk.! Rasulullah tidak membalasnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Saya ingin membaca I'tibar ini dari perspektif keluasan kedewasaan. Rasulullah dengan segala karunia terbaik Allah menjadi model yang paripurna untuk mengukur kedewasaan. Refleksi kata "Allah" yang muncul dari pribadi yang memiliki keluasan jiwa dan terus tersambung kepada penciptanya, mampu menggerakkan tubuh hingga gemetar. Bagaimana jika yang berucap itu kita? Seberapa kata ini mampu menggetarkan yang mendengarnya, atau minimal bisa menjadi wasilah hidayah bagi yang berinteraksi dengannya.
Organisasi sebagai sebuah muara dari kompromi berbagai perspektif yang berbeda butuh untuk mengupgrade dirinya sendiri lebih luas hingga mampu menampung semua warna beda yang ada. Poin upgrade nya ada pada seberapa luas kedewasaan masing-masing personel didalam yang menyusun organisasi ini disemua jenjang. Karena resultante dari keluasan kedewasaan ini mampu dibaca sebagai signifier (Penanda) kedewasaan organisasi ini. Kritiknya, justru kadang berkebalikan. Wadah organisasinya sudah besar, namun komponen didalamnya belum mampu menyeimbangkan. Dan bisa dipastikan lajunya pun melambat.
Karena laju organisasi yang melambat inilah disepakati untuk membentuk siginifer berupa pimpinan. Naahh.. wadah pimpinan butuh lebih besar dari semua ornament yang ada di dalam organisasi yang dipimpinnya. Jika berbeda, akan menghasilkan konsekuensi yang beda juga. Pertama, saat pimpinan mampu menunjukkan wadah besarnya, mereka berfungsi sebagai elevator yang akan menarik organisasi ke visi yang lebih besar. Sebaliknya, jika lebih kecil, ibarat kereta. Layaknya, ia seperti lokomotif yang di dorong oleh badan keretanya.
Mari berbenah, lebih banyak melihat kedalam. Berhenti menyalahkan. Dan memilih untuk lebih banyak mendengarkan. Melakukan rekonsiliasi tanpa menistakan. Pandai memilih lingkar terdekat, yang tak hanya mampu menjadi juru penguji gagasan, namun juga mampu jujur terbuka memberi masukan. Terbuka atas perbedaan.Â
Butuh diingat semua bahwa, ukuran kedewasaan bukan atas dasar sudah berapa lama kita hidup didunia, tapi lebih ke seberapa kita mampu memilih kata positif dalam menyikapi semua yang beda. Seberapa kita mampu melihat sisi baik semua yang ada. Bukankah kita masih terus bersaudara?
Penulis : Rofi'udin, M.Pd.