Mohon tunggu...
Nolina Angweita
Nolina Angweita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kimia Universitas Sebelas Maret

Menulis itu asik

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tolak Pemangkasan RUU PKS dan Boikot Residivis Kekerasan Seksual

26 Oktober 2021   17:58 Diperbarui: 26 Oktober 2021   18:01 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

RUU PKS atau Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mengalami sejmlah kontroversi yang membuat sejumlah organisasi seperti KOMPAKS  (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) merasa geram. Kontroversi ini ditengarai karena adanya pemangkasan pasal yang ada di dalamnya. Berdasarkan temuan KOMPAKS disebutkan bahwa sejumlah 85 pasal hilang menjadi hanya 43 pasal dalam perubahan RUU PKS menjadi RUU TPKS per 30 Agustus 2021. 

Perwakilan KOMPAKS, Naila mengungkapkan dari perubahan tersebut adalah paling mencolok terletak pada kasus kekerasan. Padahal ditinjau dari nama undang-undang tersebut adalah berhubungan terhadap tindak pidana atau sejumlah aturan untuk menangani kekerasan seksual namun mengapa point yang dihilangkan paling banyak terhadap bagian kekerasan itu sendiri. Selain pengurangan, RUU PKS tidak kunjung disahkan, malah terjadi penggantian nama yang merupakan usaha yang kurang penting dibandingkan pentingnya mempertahankan pasal-pasal yang ada didalamnya.

Masalah Pengesahan undang-undang yang lambat dan pengurangan pasal-pasal yang ada di dalamnya  mendapat reaksi dari beberapa lapisan masyarakat. Menurut saya UU ini perlu segera disahkan tanpa mengurangi pasal pasal yang ada di dalamnya karena menurut orang yang waras kasus sekelas kekerasan seksual adalah kasus paling tidak manusiawi dan rentan terjadi. Kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang sangat lemah dan kerap sulit dibuktikan dalam pengadilan. 

Perlindungan kepada korban sangat minim maka pasal yang banyak dapat menjadi pendukung korban menjalani persidangan atas kasus yang dialaminya. Alasan lain adalah variasi kejahatan atau kekerasan yang terjadi sangatlah beragam karena kekerasan dapat terjadi dalam situasi apapun, tempat apapun dan kepada siapapun selama pelaku memiliki niat dan merasa mempunyai kesempatan untuk melakukan kejahatan tersebut. 

Melihat situasi ini Indonesia  membutuhkan undang-undang yang berasal dari sudut pandang korban kekerasan maka seharusnya pasal-pasal harus sangat beragam dan luas agar dapat menjerat pelaku kejahatan supaya tidak berlindung dibalik alasan-alasan apapun karena diharapkan UU dapat menjadi payung hukum yang komphrensif untuk menangani kasus kasus yang variatif namun memiliki akar permasalahan yang sama.

Tidak segera disahkannya UU dan pemangkasan pasal pasal ini juga dapat mengurangi kepercayaan dan menurunkan mental para korban dan penyintas kekerasan seksual dikarenakan merasa tidak aman kembali bahkan setelah pemulihan atas rasa trauma mereka. 

Maka dengan mendukung segera pengesahan dan menolak pengurangan pada pasal pasal merupakan bentuk dukungan yang dapat kita lakukan kepada para penyintas. Akses dan ruang eksis untuk residivis kekerasan dan kekerasan seksual juga harus kita perhatikan dengan memboikot dan memblokir kesempatan pelaku kekerasan seksual untuk berhubungan dengan dunia luar agar pelaku mendapatkan efek jera dari perbuatan yang dilakukan. 

Media maya serta masyarakat juga seharusnya fokus dan mendukung pemulihan mental dan fisik korban dengan tidak mengglorifikasi kebebasan pelaku seperti pada kasus SJ yang sempat muncul setelah kasus pencabulan kepada anak dibawah umur yang dilakukannya tempo lalu. Kemunculan pelaku kekerasan seksual ini  dalam area sosial akan berdampak kepada mental korban. Tentunya sangatlah was-was melihat pelaku yang telah merusak mental dan fisik eksis kembali bahkan tak jarang mendapat dukungan masyarakat. Aneh namun nyata itulah gambaran society kita.

Mirisnya keadaan penanganan kekerasan seksual yang ada Indonesia karena sangat payah dan lambat dalam meyelesaikan masalah tersebut. uga kembali  miris mengingat respon masyarakat menanggapi kekerasan seksual yang marak terjadi. Banyak dari mereka malah membela pelaku dan menyalahkan korban (victim blaming). Menurut saya selain harus mendapatkan dukungan secara hukum korban juga harus mendapatkan dukungan secara moril dari sekitarnya maka jika sekitarnya acuh, korban akan kehilangan rasa kepercayaan diri untuk melapor dan speak up atas masalah yang dihadapinya. Padahal usaha speak up disini akan sangat berguna untuk membuka dan memberi kepercayaan diri kepada korban-korban lain.

Masalah undang-undang nya yang tak kunjung sah sejak diinisiasi tahun 2012 ini malah mendapat pengurangan alih-alih pengesahan padahal survey kekerasan seksual menampilkan angka yang meningkat tiap tahunnya. Undang-undang lama juga kurang tegas dalam implementasi hukum-hukumnya. Implementasi hukum tersebut cenderung terasa tidak masuk akal karena adil bagi korban dan ringan untuk pelaku. Hal ini menurut saya sangat harus dipertanyakan, apakah kesempatan melakukan niat jahat tersebut hanya ada pada pelaku ataukah juga ada pada para penegak hukum. 

Penegak hukum harusnya menjadi sistem yang dapat dipercaya dan transparan dalam menyelesaikan masalah ini. Hal ini sangat membuat kecewa dan menurunkan kepercayaan sejumlah lembaga perlindungan HAM, koalisi dan sejumlah organisasi yang bergerak dibidang kemanusiaan, karena jika hukum negara sudah tumpul, kemana lagi mereka akan mencari bantuan hukum. Bukannya menjadi payung untuk korban malah menjadi payung untuk pelaku. Maka tidak diragukan kasus-kasus serupa akan bermunculan kembali karena tidak adanya ketegasan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun