Mohon tunggu...
Nol Deforestasi
Nol Deforestasi Mohon Tunggu... Petani - profil
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nusantara Hijau

Selanjutnya

Tutup

Money

NGO: Larangan Sawit Uni Eropa Momentum Perbaikan

28 Maret 2019   16:45 Diperbarui: 28 Maret 2019   17:01 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Akbar Tado

Indonesia tengah meradang. Pemerintah, mulai dari menteri hingga wakil presiden, ramai-ramai mengeluarkan pernyataan 'perang' terhadap kebijakan Uni Eropa (UE) yang berencana untuk tidak menggunakan bahan yang 'tidak berkelanjutan' sebagai bahan baku biodiesel. "Diskriminatif" begitu pemerintah Indonesia menyebutnya.

Berbagai jurus "serangan balik" siap dilancarkan. Mulai dari membawa menggugat EU ke WTO (World Trade Organizaion), boikot produk asal UE, sampai rencana menyetop pembelian pesawat Airbus. Bahasa kerennya, "retaliasi."

Tapi sesungguhnya apa ini yang kita butuhkan? Apa sikap "lo jual gue beli" bisa menyelesaikan masalah? 

Mengapa kita tidak mencoba menarik akar positif dari kejadian ini? Mungkin kita memang harus berbenah diri. Mungkin ada banyak hal yang masih harus diperbaiki. Janganlah kita menjadi "buruk muka, cermin dibelah." 

Menarik apa yang coba disampaikan Edi Sutrisno dari Transparansi untuk Keadilan (TuK) Indonesia. Ia bilang pemerintah dan para pemangku kepentingan sawit tak perlu bereaksi berlebihan dalam menyikapi kebijakan UE. Pasalnya, UE tak melarang seluruh penggunaan CPO (Crude Palm Oil) secara keseluruhan, hanya sawit untuk biodiesel tak masuk lagi dalam perhitungan energi terbarukan hingga tak mendapatkan insentif. Dan sejatinya, sawit yang diekspor ke UE, bukan hanya buat biofuel, tetapi juga untuk bahan campuran makanan dan dan lain-lain.

Ademy.shareinvestor.com
Ademy.shareinvestor.com
Sehingga adalah lebih baik bagi Indonesia untuk fokus dan berbenah diri dengan memperbaiki tata kelola dan menguatkan hilirisasi produk sawit. Apalagi kebutuhan akan sawit sebagai sebagai bahan campuran pangan jauh lebih besar daripada untuk biodiesel.

"Faktanya, kan tak ada juga pabrik-pabrik untuk turunan CPO di Indonesia. Ini yang didorong hingga naik kelas, tak hanya jadi produsen CPO. Juga negara terdepan dalam industri sawit," ujarnya.

Lebih jauh, ia mengingatkan agar pemerintah maupun para pemangku kepentingan industri sawit untuk mendorong penerapan prinsip RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) alias sawit berkelanjutan secara lebih masif, ketimbang sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang selama ini selalu dibangga-banggakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Padahal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pernah menyatakan, sertifikat ISPO yang diterbitkan oleh pemerintah tidak terlalu berpengaruh saat berada di kancah pasar Eropa. Oleh karena itu pemerintah diharapkan memperkuat poin-poin peraturan dalam sertifikasi ISPO supaya penilaiannya setara dengan sertifikat RSPO di pasar negara maju.

"Harusnya ini diperbaiki. CPO yang keluar dari 3,7 juta hektar yang sustain. Kita punya 17 juta hektar. Masih ada 10 juta yang tidak berkelanjutan," ungkap Edi.

Senada dengan Edi, Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan, momentum ini seharusnya menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. Mendukung sawit tidak berarti mengabaikan persoalan pelanggaran HAM, perampasan tanah, sampai kerusakan lingkungan akibat kehadiran industri perkebunan sawit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun