Ketiga, adalah keputusan India yang mengenakan tarif bea masuk sebesar 40% terhadap produk CPO Indonesia. Pungutan untuk minyak kelapa sawit olahan dipangkas dari sebelumnya 54% menjadi 50% atau lebih tinggi dari CPO Malaysia sebesar 45%. "Ini ada masalah dengan EU belum rampung. Ada lagi dengan India belum rampung juga, terkena tarif bea masuk," katanya.
Belum lagi akses mendapatkan kredit untuk peremajaan perkebunan kelapa sawit sulit didapat. Perbankan merasa berat untuk memberikan kredit mengingat harga sawit saat ini sedang turun.
Inkonsistensi?
Sepintas tampaknya presiden kita sangat peduli dengan nasib petani sawit. Namun benarkah demikian? Ataukah Jokowi dengan sengaja "menggiring" para pemain kecil untuk memberi ruang yang lebih besar kepada para taipan sawit?
Tentu kita masih ingat besaran triliunan rupiah yang diberikan sebagai subsidi bagi sejumlah perusahaan sawit berskala besar sebagai timbal balik atas penjualan minyak kelapa sawit untuk campuran solar alias biodiesel. Sepanjang Januari---September 2017, lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp7,5 triliun.
Lima perusahaan sawit itu adalah Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, Louis Dreyfus Company (LDC). Angka yang fantastis bukan?
Kebijakan yang sejujurnya perlu dipertanyakan. Mengapa konglomerat sawit disubsidi besar-besaran, sementara petani malah disuruh ganti tanam petai, jengkol dan durian? Mengapa tidak sebaliknya?
Acuan
Sawit banyak masalah, Jokowi usul petani tanam durian
Harga sawit anjlok, Jokowi sarankan ganti tanam durian
Lima konglomerat sawit disuntik subsidi mega Rp75 triliun