Pagi datang seperti di hari-hari sebelumnya, Taman yang Sepi. Kehidupan yang tak pernah bisa di terima oleh anak manusia Itu, kehidupan yang diberikan Tuhan padanya. Namanya Pelita. Jangan pernah tertipu dengan nama cantiknya itu, tak banyak cahaya di sepanjang perjalanan hidupnya di dunia ini. Badai memadamkan api Kecil itu . Miris.
"Hai, pelita ya?". Tanyaku pada wanita yang sedang duduk di bangku taman seorang diri. Hening, hanya tatapan tak suka yang ku terima.
" Aku Dimas, perawat baru di RS(J) ini. Ku dengar lita menyukai permen coklat ya?" tanyaku sambil menyodorkan permen yang ku bawa.
Kali ini bukan hanya tatapan tak suka yang ku terima, melainkan jawaban ketus yang di lontarkan pada ku.
 "jangan sok kenal ya! Orang baru juga. Sok singkat nama orang saja." Jawabnya ketus. Kemudian tak ku sangka yang dikatakan selanjutnya.Â
 "Cukup orang itu saja yang memanggilku dengan sebutan itu, cukup dia saja yang membuatku terpuruk dan duduk di sini." Ia menangis setelah mengatakan kalimat itu.
 Secepat itu aku meminta maaf  dan menenangkannya dengan berkata  "semua akan baik-baik saja, percayalah.". Sambil menepuk pundaknya pelan.
Tak lama setelahnya pelita kembali terdiam tanpa memedulikan situasi di sekitarnya. Begitu juga dengan kehadiran ku di sebelahnya.
Jika ada banyak manusia yang selalu menyalahkan diri atas Takdir dirinya di muka bumi ini, sudah pasti salah satu dari mereka adalah Pelita. Cahayanya redup tak pernah ingin bersinar setelah tahu kenyataan pahit itu. Sejujurnya, badai yang memadamkan pelitanya adalah dirinya sendiri.
Ketakutan dan rasa tak percaya ke orang lain lah yang membuat dirinya kehilangan dirinya sendiri. Terpaku oleh masa lalu kelam dan Tenggelam bersamanya. Ia tak tahu mengartikan nama baiknya di kehidupan dirinya sendiri.