Mohon tunggu...
Noer Ima Kaltsum
Noer Ima Kaltsum Mohon Tunggu... Guru - Guru Privat

Ibu dari dua anak dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mulut Bisu

26 September 2015   21:31 Diperbarui: 26 September 2015   21:32 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

00000

Setiap Hanafi mengirim pesan singkat, aku tak membalasnya. Tapi aku menyimpan semua pesan itu. Katanya, dia minta dicarikan pinjaman untuk melunasi hutang-hutangnya. Setelah pendidikan selesai dan hutang-hutangnya lunas, maka dia akan segera pindah tugas. Setelah itu dia mau mencairkan pinjaman ke bank, untuk melunasi hutang-hutangnya pada saudara-saudara.

“Bilang sama dia, isterinya disuruh telpon panjenengan. Aku pingin tahu saja! Kalau dia tidak membual, seharusnya sejak dahulu isterinya menelpon panjenengan untuk meminjam uang. Berarti benar, dia tidak cerita ke isterinya!”

“Kalau mau pinjam bank, yang mau tanggung jawab dan membayar angsurannya siapa? Enak saja bilang tolong carikan pinjaman bank.”

Andai saja dulu aku mendengarkan dan melaksanakan pendapat isteriku, mungkin aku tak serepot ini. Kata isteriku, tidak perlu menunggu 1000 hari meninggalnya ibu, semua warisan dibagi. Tiap anak memegang sertifikatnya sendiri-sendiri. Setelah itu terserah, mau dijual tanahnya, atau digadaikan sertifikatnya, atau untuk investasi.

 Aku dan Drajat sepakat, tidak akan menggubris pesan dari Hanafi. Kami punya keluarga dan tanggungan anak isteri sendiri. Drajat sendiri, dia justeru hidupnya lebih susah. Drajat dan isterinya tidak memiliki penghasilan tetap. Toko kelontongnya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari.

00000

Hampir satu bulan, Hanafi tidak mengirim pesan singkat. Tidak ngrepoti pinjam uang lagi. Aku dan Drajat bisa bernafas lega.

Tiba-tiba aku diberi tahu Drajat bahwa Hanafi bersama anak isteri datang ke rumahnya. Pagi itu aku mendatangi rumah yang ditempati Drajat. Tidak lain rumah Bapak dan Ibu.

Di rumah Bapak dan Ibu aku bertemu isterinya Hanafi dan anaknya. Di ruang tamu ada anak dan isterinya Drajat. Drajat sendiri tidak ada. Sedangkan Hanafi entah di mana.

“Liburan ya nduk?” aku menyapa keponakanku, anaknya Hanafi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun