Bagi sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah, rumah subsidi bukan hanya tempat tinggal. Ia adalah puncak dari perjuangan panjang melawan ketidakpastian. Ketika cicilan masih terasa berat, gaji habis untuk kebutuhan pokok, dan harga tanah semakin melambung jauh dari jangkauan, rumah subsidi datang sebagai secercah harapan. Namun, di balik cahaya harapan itu, tersembunyi tanya yang kian mendesak: seperti apa rumah subsidi idaman yang benar-benar menjawab kebutuhan hidup, bukan sekadar menggugurkan kewajiban negara?
Pertanyaan ini semakin relevan di tengah kabar terbaru dari Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman. Rencananya, ukuran rumah subsidi akan diperkecil menjadi 18 meter persegi dengan luas tanah 25 meter persegi. Sebagai kompensasi, cicilan bisa ditekan hingga Rp600 ribu per bulan. Langkah ini disebut sebagai bentuk efisiensi agar lebih banyak masyarakat bisa menjangkau rumah. Tapi di balik angka-angka itu, muncul keraguan: apakah efisiensi itu sepadan dengan kualitas hidup yang harus dikorbankan?
Ekspektasi terhadap rumah subsidi jelas lebih dari sekadar cicilan murah. Masyarakat tidak hanya menginginkan rumah yang bisa dibeli, tetapi juga rumah yang bisa ditinggali dengan layak. Di sinilah letak tantangannya. Banyak dari rumah subsidi yang telah dibangun tidak memenuhi standar kenyamanan dasar: dinding tipis, ventilasi buruk, atap bocor, saluran air bermasalah. Bahkan, tak sedikit warga yang mengeluhkan bangunan retak dalam waktu kurang dari satu tahun sejak dihuni.
Apa gunanya harga murah jika penghuni harus mengeluarkan biaya tambahan terus-menerus untuk perbaikan? Apa maknanya rumah subsidi jika penghuninya tidak bisa tidur nyenyak di malam hari karena suara luar tembus ke dinding kamar? Apa artinya pembangunan masif jika pada akhirnya rumah-rumah tersebut kosong tak berpenghuni karena tak layak atau terlalu jauh dari pusat aktivitas masyarakat?
Dalam dunia perencanaan kota modern, dikenal istilah affordable but livable housing, rumah yang terjangkau secara ekonomi tetapi juga layak ditinggali secara sosial dan psikologis. Sayangnya, konsep ini masih sulit diterapkan dalam konteks rumah subsidi kita. Yang menjadi tolok ukur utama masih sebatas harga jual dan daya serap pasar, bukan kualitas hidup penghuninya. Padahal, rumah subsidi bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan cerminan dari seberapa serius negara menjamin hak dasar warga atas tempat tinggal yang manusiawi.
Mari kita bayangkan skenario sederhana. Seorang buruh pabrik dengan gaji Rp4 juta per bulan akhirnya mampu membeli rumah subsidi di pinggiran kota. Cicilannya ringan, hanya Rp600 ribu per bulan. Tapi setiap hari, ia harus menempuh perjalanan dua jam ke tempat kerja, karena lokasi rumah jauh dari kawasan industri. Biaya transportasi dan waktu yang terbuang membuatnya lelah sebelum sampai di rumah. Lingkungan perumahan pun minim fasilitas: tidak ada sekolah dekat, tidak ada puskesmas, bahkan warung pun jarang. Apakah rumah seperti ini layak disebut "idaman"?
Lebih jauh lagi, ukuran rumah 18 meter persegi mungkin tampak cukup bagi seseorang yang hidup sendiri. Tapi bagaimana jika rumah itu dihuni oleh pasangan muda dengan satu atau dua anak? Bagaimana ruang yang sempit itu bisa menjadi tempat belajar, bermain, memasak, mencuci, dan beristirahat? Kita harus ingat bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik, tapi juga ruang tumbuh dan berkembang. Ruang untuk membangun mimpi.
Rumah subsidi idaman semestinya menjadi titik awal mobilitas sosial, bukan jebakan permanen kemiskinan. Jika rumah subsidi dibangun terlalu kecil dan terlalu jauh, maka ia justru berisiko memperbesar beban sosial: memutus akses pada peluang kerja, memperburuk kualitas pendidikan anak, dan mengisolasi keluarga dari jaringan sosial produktif.
Dalam dokumen resmi BP Tapera tentang Program Pembiayaan KPR Sejahtera FLPP, telah diatur skema pendanaan berbunga rendah dan syarat bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Fitur ini ideal di atas kertas, namun implementasinya masih perlu pengawasan ketat. Apakah pengembang benar-benar membangun sesuai spesifikasi teknis? Apakah proses sertifikasi rumah dilakukan dengan cermat? Apakah plat subsidi benar-benar menjadi pengingat etis bahwa rumah itu dibangun dengan semangat gotong royong dari negara dan rakyat?
Pemerintah juga telah menetapkan larangan untuk menyewakan, mengosongkan, atau mengalihkan kepemilikan rumah subsidi dalam lima tahun pertama. Ini langkah protektif, tetapi patut dikritisi jika rumah-rumah tersebut justru kosong bukan karena disalahgunakan, melainkan karena tidak layak huni sejak awal. Dalam banyak kasus, warga memilih kembali mengontrak di tempat lama karena rumah subsidi yang mereka miliki tidak sesuai kebutuhan hidup sehari-hari.