Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama dan Kapitalisme Satu Mimbar Dua Niat

12 Juni 2025   07:58 Diperbarui: 12 Juni 2025   07:58 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.sanglah-institute.org/2019/10/agama-dan-kapitalisme.html?m=1

Agama dan kapitalisme, bagi banyak orang, adalah dua dunia yang saling bertolak belakang. Yang satu berbicara tentang pengabdian dan ketundukan, yang lain tentang laba dan ekspansi. Namun kenyataannya, keduanya telah lama berjalan beriringan, bahkan saling menopang. 

Kapitalisme selalu haus akan pasar, dan agama menawarkan pangsa yang tak pernah sepi: hati manusia yang mencari harapan. Dalam dunia di mana hampir semua hal bisa dikemas dan dijual, iman bukan pengecualian. Ia bahkan menjadi komoditas yang sangat menjanjikan.

Ketika seorang tokoh spiritual tampil mempromosikan rokok herbal sebagai solusi sehat dan sarat nilai-nilai religius, banyak yang terguncang. Tapi benarkah itu layak dikejutkan? Barangkali tidak. Ini hanya satu babak terbaru dari kisah panjang tentang bagaimana simbol agama dijadikan alat jualan. Dalam promosi tersebut, rokok herbal tak hanya ditawarkan sebagai produk, tetapi juga dibungkus dengan legitimasi budaya dan spiritual: dari klaim kehalalan hingga warisan leluhur. Label seperti "sunnah" atau "tobat dari kimiawi" menjadi jargon yang memikat, seperti semacam mantra yang meredakan rasa bersalah sambil memantik rasa bangga. Bagi sebagian, ini adalah dakwah kreatif. Bagi yang lain, ini penyesatan.

Kita lalu melihat ranah lain yang lebih halus, tetapi jauh lebih besar: seminar-seminar yang menggabungkan motivasi hidup dengan nuansa spiritual. Dalam satu sesi, peserta diajak menyelami ayat-ayat suci, menangis bersama dalam muhasabah, lalu disodori paket pelatihan lanjutan dengan label eksklusif. Biayanya tak sedikit. Terdapat versi reguler, versi VIP, bahkan versi lanjutan yang diklaim bisa mempercepat rezeki atau membuka potensi diri. Di titik ini, spiritualitas dikemas seperti program pelatihan bisnis. Ayat dipadukan dengan teori psikologi Barat, musik latar dipilih untuk menggugah emosi, dan semua itu disajikan dalam format profesional yang rapi. Hasilnya? Banyak peserta merasa tercerahkan, dan sebagian juga merasa terdorong untuk membeli buku, kaus, atau bahkan paket langganan motivasi digital.

Fenomena ini bukan hanya milik negeri kita. Di berbagai belahan dunia, agama telah menjelma menjadi arena ekonomi yang sangat aktif. Di Amerika, gereja berukuran stadion menyuguhkan layanan ibadah layaknya konser pop, lengkap dengan souvenir dan langganan streaming. Di Timur Tengah, ibadah haji dan umrah menjadi industri raksasa, lengkap dengan biro perjalanan, hotel bintang lima, dan layanan prioritas. Di India, festival keagamaan disponsori oleh perusahaan rokok dan bank. Semua ini menunjukkan satu hal: pasar menyukai hal yang suci, selama bisa dikemas dengan menarik.

Kapitalisme bekerja sederhana: cari komunitas yang loyal, lalu tawarkan produk yang relevan secara emosional. Dalam hal ini, agama adalah pasar yang sangat ideal. Ketika manusia merasa takut, ia mencari perlindungan. Ketika merasa bersalah, ia mencari penebusan. Ketika merasa kosong, ia mendambakan makna. Maka agama hadir menawarkan jawaban, dan pasar menyodorkan bungkusnya. Mulai dari air berkah dalam botol, layanan penyembuhan jarak jauh, sampai platform donasi digital yang menjanjikan pahala instan.

Namun kita perlu jujur pada satu hal: tidak semua bentuk komersialisasi adalah kejahatan spiritual. Ada sisi positif dari keterlibatan pasar dalam menyebarkan pesan moral. Buku agama yang dulu sulit dicari kini mudah dibeli. Video dakwah bisa diakses jutaan orang melalui kanal daring. Lembaga amal memanfaatkan teknologi untuk menjangkau lebih banyak penerima manfaat. Bahkan ustaz muda pun bisa hidup layak dari iklan selama mereka berdakwah secara konsisten dan jujur. Di sini, kapitalisme justru membantu kerja-kerja keagamaan, bukan mengganggunya.

Masalahnya muncul ketika semua itu berubah menjadi panggung. Ketika agama tak lagi menjadi sarana pencarian kebenaran, melainkan sekadar alat persuasi. Ketika nilai-nilai luhur seperti keikhlasan, sabar, dan tawakal dijadikan selipan dalam promosi produk, dari kopi organik hingga multi-level marketing. Di titik ini, agama kehilangan ruh. Ia jadi kemasan, bukan isi. Jadi citra, bukan cahaya. Segala yang suci dipakai untuk menambah nilai jual, bukan untuk mendidik nurani.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya elit baru: para penjaja iman. Mereka bukan hanya menawarkan jasa spiritual, tapi juga mengklaim diri sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran. Mereka memonopoli tafsir, mengkapitalisasi rasa takut, dan menciptakan sistem keanggotaan yang membuat iman terasa seperti klub eksklusif. Mau ikut kajian tertentu? Ada biaya. Mau konsultasi privat? Ada tarif. Bahkan untuk mendapatkan amalan khusus, kadang perlu membayar “biaya administrasi.” Ini bukan lagi dakwah, ini waralaba.

Filsuf Slovenia, seorang provokator ulung bernama Slavoj Žižek, pernah menyindir bahwa kapitalisme tidak membunuh agama, justru memeluknya erat. Ia tidak menggantikan Tuhan, tapi menjual akses menuju-Nya. Dalam dunia ini, bahkan rasa bersalah bisa dijadikan produk. Donasi digital menjadi semacam tombol pembersih dosa. Sekali klik, hati terasa lebih ringan. Padahal kita tak tahu ke mana uang itu mengalir, siapa yang menerima, dan bagaimana prosesnya. Kita hanya tahu: sudah berdonasi, berarti sudah baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun