Setiap tahun momen Idul adha datang dengan semarak, tapi juga dengan sejumput pilu yang tak terucapkan. Di antara suara takbir dan hiruk-pikuk panitia kurban, ada mereka yang hanya bisa melihat dari balik pagar, diam-diam menahan keinginan yang belum kesampaian, berharap suatu saat bisa ikut menyumbang hewan kurban, bukan hanya sebagai penonton yang ikut bahagia dari kejauhan.
Jika dihitung-hitung, harga satu kambing standar untuk kurban saat ini tidaklah setinggi langit. Berdasarkan harga emas per 7 Juni 2025, nilai 2,5 gram emas 24 karat, yang bisa jadi representasi simbolik nilai minimal kurban, berkisar antara Rp4,3 juta hingga Rp4,9 juta. Secara rasional, itu angka yang cukup realistis untuk dikumpulkan dalam satu tahun. Tapi mengapa masih banyak yang belum bisa melakukannya?
Jawabannya sederhana namun menyakitkan: karena kita tidak pernah benar-benar menjadikannya tujuan.
Kita menabung untuk beli gawai baru, untuk staycation saat long weekend, bahkan untuk saldo darurat belanja 6.6 atau 12.12. Tapi untuk kurban? Tak jarang kita anggap sebagai "nanti saja kalau ada rezeki lebih." Padahal niat yang hanya bergantung pada keajaiban, tanpa dibarengi tindakan nyata, hanyalah angan kosong yang tertunda tanpa batas.
Maka dari itu, mari kita balik pendekatannya: bukan soal apakah kita mampu, tapi apakah kita sungguh ingin mendekat.
Kata kurban berasal dari akar kata qaruba yang berarti "mendekat." Dalam Islam, berkurban bukan sekadar ritual penyembelihan, tapi simbol penyerahan diri yang penuh kesadaran, sebagai bentuk pendekatan spiritual kepada Sang Pencipta. Itulah mengapa kurban selalu identik dengan keikhlasan, karena yang ditimbang bukan besar atau kecilnya hewan, tapi seberapa besar hati kita rela melepas sesuatu yang kita cintai demi sesuatu yang jauh lebih mulia.
Di titik inilah perencanaan keuangan bertemu dengan spiritualitas.
Jika kita benar-benar ingin mendekat, kita harus mulai dengan melepaskan. Melepaskan rasa malas, menyingkirkan rasa enggan, dan yang paling penting: merelakan sebagian dari kenikmatan dunia demi jembatan menuju langit.
Lalu bagaimana cara yang tidak biasa namun efektif untuk mengubah niat ini jadi aksi nyata?
Pertama, mulai dengan menyimpan "rasa malu." Malu kepada diri sendiri, ketika tahun demi tahun kita tak juga bergerak mendekat. Bukan malu karena tak mampu, tapi malu karena terlalu mudah mencari alasan. Tanamkan dalam diri bahwa kurban bukan untuk orang kaya, tapi untuk orang yang serius.