Libur panjang akhir Mei ini datang seperti angin yang membawa aroma dilematis: antara ingin ke luar kota untuk menyegarkan kepala atau tinggal di rumah demi menjaga isi dompet yang sedang tipis-tipisnya. Saya memilih yang kedua.
Bukan karena tak ingin melihat tempat baru, atau tak punya semangat petualangan. Tapi akhir bulan adalah masa di mana rasionalitas dan imajinasi harus berdamai.Â
Minggu ini, bukan hanya kantong yang sedang diuji, tetapi juga cuaca dan situasi kota yang tidak bersahabat.
Dua hari lalu, Samarinda dilanda banjir hebat. Air naik cepat setelah hujan deras mengguyur kota tanpa jeda. Beberapa titik terendam cukup dalam, bahkan hingga kemarin pun masih ada kawasan yang digenangi air.Â
Lalu lintas menjadi tidak terduga, jalanan menjadi perangkap tak kasat mata. Dalam kondisi seperti ini, keluar rumah bisa berarti terjebak bahkan tidak bisa pulang.
Maka ketika banyak orang sibuk memesan tiket, mencari penginapan, dan menyusun itinerary, saya malah sibuk menyusun daftar film di Netflix dan memikirkan menu masakan sederhana untuk empat hari ke depan.Â
Keputusan untuk tidak ke mana-mana terasa seperti pelarian yang rasional, dan jujur saja, saya merasa cukup beruntung bisa mengambil opsi itu.
Saya tinggal di sebuah kompleks perumahan yang memiliki fasilitas yang cukup memadai. Tidak mewah, tapi cukup untuk membuat hari terasa berbeda dari biasanya.Â
Ada kolam renang yang bisa diakses bebas oleh penghuni, dan ada satu ruangan kecil yang difungsikan sebagai family cinema. Tempatnya mungil, hanya cukup untuk beberapa orang, dengan layar proyektor dan sofa yang cukup nyaman buat saya.
Pagi hari saya awali dengan berenang ringan. Bukan untuk olahraga serius, tapi lebih untuk menyapa pagi dan memberi ruang bagi tubuh untuk bersantai.Â