Di atas kertas, Komite Sekolah adalah pilar partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Ia bukan sekadar formalitas administratif, melainkan wajah dari keikutsertaan warga dalam menjamin mutu, keadilan, dan transparansi di dunia pendidikan dasar dan menengah. Sayangnya, realitas di banyak sekolah justru menunjukkan ironi yang menyakitkan: komite kerap direduksi menjadi corong penggalangan dana, namun dibungkam ketika hendak menjalankan fungsi pengawasan. Ini bukan semata penyimpangan teknis, tapi gejala sistemik yang perlu disorot sebagai cermin dari ketidakseimbangan kekuasaan dalam pengelolaan sekolah.
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 dengan tegas menjelaskan tugas, fungsi, dan peran Komite Sekolah: memberi pertimbangan terhadap kebijakan sekolah, menjadi mitra pendukung, pengawas, sekaligus mediator antara pihak sekolah dengan masyarakat.Â
Komite bukan lembaga seremonial. Ia adalah penjaga nilai-nilai akuntabilitas dan etika publik di lingkungan pendidikan. Tetapi, ketika realitas di lapangan memperlihatkan bahwa komite hanya disapa saat sekolah butuh sumbangan, lalu didiamkan ketika mulai bertanya soal Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS) atau penggunaan dana BOS, maka kita tengah menyaksikan pergeseran makna dari partisipasi menjadi subordinasi.
Seseorang yang duduk dalam komite di banyak sekolah mungkin merasa seperti sedang berdiri di atas dua batu licin: satu kaki diminta menopang keuangan sekolah, kaki lainnya diikat agar tak melangkah jauh ke urusan "internal". Tentu saja, ada sekolah-sekolah yang terbuka, komunikatif, dan menjadikan komite sebagai rekan sejati. Namun cerita seperti ini belum menjadi arus utama. Justru yang kerap terdengar adalah bagaimana aspirasi kritis anggota komite dianggap mengganggu ritme kerja sekolah, bahkan dianggap sebagai upaya "mengintervensi" urusan profesional guru dan kepala sekolah.
Pola pikir semacam ini mencerminkan miskonsepsi mendalam tentang relasi antara lembaga pendidikan dan masyarakat. Sekolah bukan menara gading. Ia tumbuh dari partisipasi warga. Komite bukan pengganggu, melainkan penjaga integritas. Dan seperti disebut dalam aturan, komite berwenang mengetahui, memberi pertimbangan, bahkan mengawasi penggunaan dana, termasuk dana BOS.Â
Penekanan bahwa komite "tidak mengelola langsung dana BOS" sering dijadikan tameng untuk menolak pelibatan mereka dalam proses pengawasan. Padahal, pengawasan bukan berarti pengelolaan. Memberi ruang tahu, memberi akses terhadap laporan penggunaan anggaran, dan membuka saluran komunikasi adalah bagian dari good governance.
Tanpa transparansi, dunia pendidikan bukan hanya akan kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga mencetak generasi yang terbiasa hidup dalam sistem gelap: tak tahu bagaimana keputusan dibuat, dari mana uang datang, dan ke mana ia pergi.Â
Jika sekolah mengajarkan akuntabilitas di ruang kelas, tetapi tidak mempraktikkannya di ruang rapat komite, maka pendidikan yang ditawarkan hanyalah slogan kosong. Kita tidak sedang mendidik, tapi sekadar menjalankan rutinitas birokratik.
Lebih ironis lagi ketika pengurus komite yang kritis justru "dibekukan secara sosial", tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau bahkan dikucilkan secara halus dengan alasan menjaga harmoni. Inilah bentuk persekongkolan diam-diam yang sering tak tercatat dalam berita resmi. Bentuk kejahatan administratif yang tak bisa disentuh hukum, tetapi jelas mencederai nilai-nilai partisipasi demokratis.
Dalam kerangka ini, perlu kiranya masyarakat lebih memahami bahwa posisi dalam Komite Sekolah bukan jabatan simbolik. Ia membawa mandat publik. Menjadi anggota komite artinya siap menjadi pengawal etik dan moral di lingkungan pendidikan. Jika hanya dijadikan bumper untuk penggalangan dana namun tidak diberi ruang untuk bertanya bagaimana dana digunakan, maka itu penghinaan terhadap semangat partisipasi.