Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pay Later dan Bayang-Bayang Utang di Era Digital

22 Mei 2025   10:23 Diperbarui: 22 Mei 2025   10:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Nataliya Vaitkevich: https://www.pexels.com/id-id/foto/smartphone-ponsel-pintar-laptop-macbook-6214476/ 

Era digital bukan hanya menghadirkan kenyamanan dalam berbelanja, tetapi juga membuka akses terhadap instrumen keuangan yang dulunya hanya tersedia bagi segelintir kalangan. Salah satu produk keuangan yang menonjol di tengah ledakan teknologi finansial ini adalah layanan Buy Now Pay Later (BNPL). Di permukaan, BNPL tampak sebagai jawaban atas inklusi keuangan: solusi gesit, tanpa jaminan, cepat cair, dan seolah tanpa beban. Namun, sebagaimana riuh tepuk tangan bisa membutakan, laju pertumbuhan BNPL juga menyimpan gema peringatan yang tak boleh diabaikan.

Pertumbuhan pesat layanan BNPL di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, mencerminkan pergeseran besar dalam perilaku konsumen. Perusahaan teknologi raksasa seperti Sea Group, Grab, dan GoTo mencatat lonjakan signifikan dalam portofolio pinjaman mereka. SeaMoney, misalnya, mengelola pinjaman senilai US$5 miliar pada akhir 2024 dengan pertumbuhan tahunan mencapai 60 persen. Grab melaporkan peningkatan pendapatan 36 persen pada kuartal pertama 2025, sementara GoTo Financial bahkan mencatat lonjakan 108 persen dalam portofolio pinjaman mereka. Ini bukan sekadar angka; ini adalah cermin perubahan zaman, di mana kredit mikro menjadi jalan tol bagi konsumsi sehari-hari.

Indonesia diprediksi akan menjadi pasar terbesar BNPL di Asia Tenggara pada 2025, dengan transaksi di sektor e-commerce yang melonjak hingga 8,7 kali lipat dibandingkan tahun 2020. Ini bukan keajaiban semalam, tetapi hasil dari sinergi antara digitalisasi, penetrasi e-wallet, dan kebiasaan konsumen yang makin lekat dengan belanja daring. Namun, seperti balon yang terus dipompa, kita mesti bertanya: seberapa kuat elastisitas daya beli masyarakat? Seberapa tahan dompet digital kita terhadap guncangan ekonomi dunia nyata?

Sinyal waspada mulai muncul dalam bentuk angka yang tak bisa diabaikan. Per Maret 2025, total utang paylater yang dikelola oleh perbankan nasional mencapai Rp22,78 triliun, tumbuh 32,18 persen secara tahunan. Angka ini tidak hanya mencerminkan ketertarikan terhadap layanan, tetapi juga potensi ketergantungan terhadap utang sebagai gaya hidup. Bahkan, dalam kondisi ekonomi yang melambat dan gelombang PHK yang menggulung lebih dari 18.000 pekerja hanya dalam dua bulan pertama 2025, BNPL menjadi penyambung napas yang rawan berubah menjadi jerat.

Inilah dilema utama: ketika kredit mikro menjadi pelampung bagi mereka yang terdampak PHK atau kesulitan likuiditas, maka BNPL berubah wujud menjadi tambang waktu finansial. Di sinilah letak risiko sistemik yang sesungguhnya. Dalam jangka pendek, sistem BNPL bisa menumbuhkan ekonomi konsumsi; dalam jangka panjang, ia bisa mengikis fondasi ketahanan finansial masyarakat, terutama jika tidak diimbangi dengan literasi keuangan dan pengawasan regulatif yang memadai.

Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Di tingkat global, pasar BNPL diperkirakan akan mencapai nilai fantastis USD560,1 miliar pada 2025 dan terus naik menjadi USD911,8 miliar pada 2030. Namun, seiring pertumbuhan, muncul pula pengawasan lebih ketat dari otoritas keuangan di berbagai negara. Beberapa bahkan mulai mendorong agar layanan BNPL tunduk pada standar perlindungan konsumen yang sama seperti produk kredit tradisional. Di sinilah Indonesia berada pada titik genting: apakah kita hanya menjadi peniru tren global, atau mampu menjadi pelaku bijak dalam orkestrasi ekonomi digital?

BNPL, pada hakikatnya, adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjadi alat demokratisasi akses keuangan, membuka peluang bagi mereka yang tidak memiliki riwayat kredit untuk membangun jejak transaksi. Namun, ketika kemudahan itu ditawarkan tanpa edukasi dan transparansi, maka lahirlah konsumen yang tidak sadar bahwa mereka tengah menandatangani kontrak utang berkedok kenyamanan. Tanpa batasan dan peringatan yang jelas, belanja menjadi candu dan utang menjadi warisan tak kasat mata.

Realitas ini menuntut peran aktif dari banyak pihak. Regulator harus lebih progresif dalam merancang kebijakan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga antisipatif. Edukasi finansial harus menjadi bagian dari kurikulum literasi digital masyarakat, bukan hanya menjadi kampanye musiman. Platform BNPL sendiri harus mulai menyadari bahwa tanggung jawab mereka tidak berhenti pada konversi transaksi, tetapi juga pada keberlanjutan finansial konsumen.

Mengutip pendekatan behavioral economics, keputusan finansial konsumen tidak selalu rasional. Banyak yang tergoda oleh "ilusi cicilan ringan" tanpa menyadari efek bola salju dari bunga dan denda keterlambatan. Dalam konteks Indonesia, di mana tingkat literasi keuangan masih menjadi tantangan, ilusi ini bisa berkembang menjadi krisis kepercayaan yang lebih luas terhadap layanan keuangan digital. Dan ironisnya, teknologi yang semestinya menjadi solusi justru berpotensi menjadi akar masalah baru.

Sebagian orang mungkin berargumen bahwa BNPL hanyalah salah satu instrumen yang netral; tergantung bagaimana penggunaannya. Ini benar, namun tidak cukup. Karena dalam realitas sosial-ekonomi kita, tidak semua konsumen berada dalam posisi yang setara dalam mengambil keputusan. Ada yang memilih BNPL karena ingin, ada pula yang memilih karena tidak punya pilihan. Dan ketika utang menjadi satu-satunya pintu keluar, maka yang kita hadapi bukan lagi sekadar kebijakan keuangan, melainkan krisis kemanusiaan dalam bentuk modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun