Bukan hal baru bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan medan perebutan makna dan kekuasaan. Maka ketika negara memutuskan untuk menulis ulang sejarah Indonesia dalam sepuluh jilid buku yang digarap ratusan sejarawan, publik bertanya-tanya: untuk siapa sejarah ini ditulis? Dan oleh siapa sebenarnya ia digariskan?
Proyek ini dipimpin oleh sejarawan ternama Prof. Susanto Zuhdi dan dimotori Kementerian Kebudayaan RI dengan target rilis pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan ulang tahun ke-80 Republik.Â
Dalam bayangan resminya, proyek ini adalah pemutakhiran narasi sejarah agar lebih komprehensif, akademik, dan menyatukan lintas perspektif dari Aceh hingga Papua.Â
Tujuannya terdengar luhur: memperkuat kebangsaan, menumbuhkan rasa cinta tanah air, dan menyusun narasi sejarah yang lebih inklusif.
Namun seperti yang dikatakan Napoleon Bonaparte, "History is the version of past events that people have decided to agree upon." Artinya, sejarah tak pernah steril dari kepentingan.
Ketika negara menyebut proyek ini sebagai bentuk dari "sejarah resmi Indonesia," lonceng peringatan pun berbunyi. Sebab sejarah yang diklaim sebagai satu-satunya kebenaran justru membuka jalan bagi penyempitan pemahaman, pembungkaman kritik, dan bahkan penggelapan masa lalu yang tidak nyaman untuk diingat.
Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) telah menyuarakan kekhawatiran ini. Mereka mempertanyakan transparansi proyek yang belum memperlihatkan draf maupun kerangka konseptualnya ke publik.Â
Apalagi jika benar kerangka 30 halaman itu disusun oleh pemerintah, maka bukan tak mungkin akan terjadi bias naratif yang mengaburkan pelanggaran HAM, mengerdilkan peran tokoh tertentu, atau justru mengagungkan satu rezim di atas lainnya.Â
Ini bukan soal revisi sejarah, melainkan risiko rekonstruksi ulang memori kolektif bangsa demi keuntungan politis.
Memang benar bahwa pengetahuan sejarah bukan milik satu golongan. Ia hidup dalam banyak versi, dalam lisan nenek moyang, dalam tulisan akademisi, bahkan dalam bisikan trauma para korban.Â