Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Keruntuhan Raksasa Ritel Asing di Indonesia Bukan Sekadar Persaingan Harga

20 Mei 2025   16:48 Diperbarui: 20 Mei 2025   17:03 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://money.kompas.com/read/2025/04/03/174828426/menengok-lulu-hypermarket-dulu-diresmikan-jokowi-kini-sepi-di-tengah-kabar?page=all

Di tengah riuhnya pusat perbelanjaan yang kian sepi dan rak-rak yang perlahan dikosongkan, satu demi satu gerai hipermarket asing mulai menutup pintu di Indonesia. Lulu Hypermarket dari Uni Emirat Arab dan GS Supermarket asal Korea Selatan menjadi dua nama terakhir yang menyusul jejak pendahulunya. Pernyataan manajemen Lulu yang menyiratkan perubahan strategi, dan keputusan GS Supermarket yang akan menutup seluruh operasionalnya pada akhir Mei 2025, menjadi titik terang dari sebuah cerita yang sesungguhnya sudah lama ditulis di dinding: model bisnis mereka tak lagi relevan dengan realitas pasar Indonesia.

Fenomena ini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai kegagalan korporasi atau penurunan pendapatan jangka pendek. Ia adalah cermin dari perubahan sosial-ekonomi yang lebih dalam. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan kelas menengah terbesar di dunia, kini mengalami transformasi gaya hidup konsumen yang amat dinamis. Daya beli memang menjadi isu, namun persoalannya lebih kompleks: ini tentang bagaimana memahami pola pikir masyarakat, bagaimana mereka mengambil keputusan sehari-hari, dan apa yang mereka anggap bernilai.

Minimarket seperti Indomaret dan Alfamart bukan hanya sukses karena murah atau mudah dijangkau. Mereka berhasil merasuk ke dalam denyut kehidupan urban dan semi-urban Indonesia. Mereka hadir di sela gang sempit dan dekat tempat tinggal, menyediakan kebutuhan harian tanpa perlu upaya besar dari konsumen. Sementara itu, hypermarket asing hadir dengan asumsi bahwa konsumen akan datang kepada mereka, bukan sebaliknya. Ini bukan sekadar soal lokasi, ini soal filosofi pelayanan.

Sebagai entitas bisnis, hypermarket asing cenderung membawa serta model operasional dan strategi yang sukses di negara asalnya, tetapi mereka sering gagal mengadaptasi diri secara kontekstual. Mereka menjual produk-produk impor premium yang mahal, memosisikan diri sebagai pusat belanja besar, namun kerap melupakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mencari pengalaman berbelanja yang megah, melainkan yang efisien dan dekat. Dalam lanskap ekonomi yang semakin menghargai kecepatan, kenyamanan, dan harga terjangkau, hipermarket dengan etalase luas dan harga tinggi menjadi antitesis dari kebutuhan itu.

Faktor lain yang turut menenggelamkan mereka adalah hadirnya e-commerce dan quick commerce yang agresif dan gesit. Shopee, Tokopedia, dan layanan seperti Astro mampu menghadirkan barang dalam hitungan jam, bahkan menit, dengan harga bersaing dan promosi yang nyaris tak pernah berhenti. Ketika seseorang bisa membeli beras dari ponselnya sambil menunggu lampu merah atau di tengah perjalanan kereta, mengapa ia harus berkendara jauh ke pusat perbelanjaan besar yang bahkan tak selalu memiliki diskon menarik?

Lebih ironis lagi, sebagian besar hypermarket ini juga belum benar-benar masuk ke ekosistem omnichannel. Mereka berdiri sebagai toko fisik yang kaku, tidak memiliki integrasi memadai dengan platform online atau strategi digital yang kuat. Di era di mana semua hal berlari ke arah hibrid, fisik dan digital menyatu tanpa batas, kekakuan model bisnis adalah bentuk kelalaian strategis.

Namun, jika semua ini semata-mata adalah tentang kalah bersaing, maka investor asing tinggal memperbaiki strategi pemasaran, menurunkan harga, atau membuka gerai baru di lokasi yang lebih baik. Kenyataannya, permasalahan mereka jauh lebih mendalam. Mereka berhadapan dengan pergeseran nilai dan perilaku yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan promo atau relokasi.

Konsumen Indonesia telah berubah. Mereka tidak lagi terkesan oleh format besar dan luas, tapi oleh efisiensi dan kedekatan emosional. Mereka menghargai merek yang "ngerti kebutuhan sehari-hari", bukan yang sekadar memamerkan kelimpahan produk. Maka, ketika hypermarket gagal membangun keterhubungan emosional dan keakraban, mereka menjadi entitas asing---secara literal dan metaforis.

Dan dalam konteks ini, para pemain lokal tidak hanya lebih efisien dalam logistik dan distribusi. Mereka lebih mahir membaca isyarat budaya. Di sinilah letak keunggulan mereka yang sebenarnya: bukan pada teknologi, melainkan pada intuisi sosial. Minimarket lokal tahu bahwa tetangga yang membuka warung kecil adalah juga pesaing mereka; bahwa Ramadan membutuhkan stok lebih banyak kurma dan sirup; bahwa tanggal tua perlu diskon mi instan. Pemahaman mikro terhadap ritme lokal adalah modal yang belum dimiliki oleh banyak ritel asing, meskipun mereka datang dengan modal besar.

Tentu saja, keruntuhan ini bukan berarti Indonesia menutup pintu bagi investasi asing. Tapi pasar telah memberikan pelajaran mahal: untuk bisa bertahan di pasar ini, investor tak cukup datang dengan konsep sukses dari luar. Mereka harus berakar, menyelami budaya lokal, merancang ulang cara mereka melihat konsumen, dan barangkali, belajar dari pemain lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun