Ada kalimat yang tak bisa kita ucapkan tanpa menggertakkan rahang: sebuah grup Facebook bernama Fantasi Sedarah, beranggotakan puluhan ribu orang, berisi konten fantasi seksual terhadap anak-anak dan keluarga kandung.Â
Fakta bahwa ini bukan hoaks, melainkan kenyataan yang terbongkar pada era algoritma dan tombol "like," bukan hanya memuakkan, ini memalukan.Â
Bukan hanya bagi platform yang menampungnya, tapi bagi kita semua, bangsa yang diam-diam telah membiarkan ruang digital tumbuh liar tanpa pagar moral dan hukum yang kokoh.
Bahwa grup menjijikkan ini sempat hidup dan berkembang hingga memiliki 32 ribu anggota bukanlah soal teknis platform semata. Ini adalah sinyal darurat bahwa sistem pengawasan kita di dunia maya masih terlalu lemah, sementara predator semakin cerdas menyamarkan diri di balik topeng anonimitas.Â
Boleh saja Kemkomdigi dan Meta berkoordinasi untuk memblokir dan menghapus grup tersebut, tetapi pertanyaannya: mengapa harus menunggu sampai viral baru kita bertindak?
Fakta ini tidak berdiri sendiri. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, lebih dari separuh kekerasan terhadap anak perempuan terjadi di lingkungan rumah tangga.Â
Data itu bukan sekadar angka; itu adalah representasi penderitaan ribuan anak-anak yang seharusnya tumbuh dengan cinta, tapi malah disakiti oleh orang terdekat.Â
Tren kasus yang meningkat tiap tahun, dari 7.492 pada 2020 menjadi 11.674 pada 2024, bukan hanya grafik statistik, tetapi grafik kegagalan kolektif kita.
Grup Fantasi Sedarah hanyalah puncak dari gunung es kebobrokan moral yang tumbuh subur di dunia maya. Budaya anonimitas di media sosial telah menjadi pupuk bagi perilaku menyimpang.Â
Psikolog sosial menjelaskan bahwa kondisi ini menciptakan deindividuasi, yakni hilangnya tanggung jawab personal. Pelaku merasa tak terlihat, tak terlacak, lalu merasa berhak memuntahkan hasrat terlarangnya seolah-olah itu sesuatu yang wajar dibicarakan secara publik. Lebih buruk lagi, algoritma media sosial bekerja seperti ruang gema, echo chamber, yang mempertemukan orang-orang dengan penyimpangan serupa, lalu memperkuat ilusi bahwa mereka normal.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!