Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikmati Hidup Tanpa Harus Jadi Bos

18 Mei 2025   18:56 Diperbarui: 18 Mei 2025   18:56 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Tsai Derek on Unsplash

Di sudut-sudut jalan Tokyo yang sibuk, ada pemandangan yang mencuri perhatian: sepasang orang tua menggandeng anaknya sepulang sekolah, tersenyum santai menikmati sore. Tak tampak kelelahan yang menyesakkan, tak ada wajah stres yang sering kita temui dalam hiruk-pikuk kota besar lainnya. Mungkin beginilah wajah baru Jepang hari ini, masyarakat yang mulai belajar menolak glorifikasi ambisi dan kerja berlebihan demi menemukan kembali esensi hidup.

Pilihan masyarakat Jepang untuk tidak lagi berjuang keras dalam definisi konvensional bukan karena mereka menjadi malas atau kehilangan semangat juang. Justru sebaliknya, mereka tengah mengajukan sebuah kritik diam-diam terhadap budaya kerja yang terlalu menuntut, yang pernah menjadi ciri khas negeri Matahari Terbit itu. Kita tentu masih ingat istilah karoshi, kematian akibat kerja berlebihan, yang sempat menjadi fenomena tragis di Jepang dekade lalu. Dari luka itulah tampaknya lahir kesadaran baru: bahwa hidup seharusnya bukan sekadar kompetisi tanpa henti.

Alih-alih mendorong anak-anak untuk menjadi nomor satu dalam ujian, banyak orang tua di Jepang hari ini justru lebih memilih membentuk karakter dan kebiasaan hidup yang seimbang. Pendidikan di Jepang, terutama sejak era reformasi kurikulum yutori, mulai menggeser fokus dari pencapaian akademik semata ke arah pengembangan diri secara holistik. Siswa diajarkan tidak hanya cara berpikir, tapi juga cara hidup. Mereka dibiasakan membersihkan kelas sendiri, menghargai waktu, bekerja dalam tim, dan menjaga ritme hidup yang tertib. Di balik kesederhanaannya, sistem ini menanamkan akar disiplin yang kuat, bukan dengan kekerasan, tapi dengan konsistensi dan teladan.

Di balik transformasi ini, terdapat sebuah bab penting dalam sejarah kebijakan pendidikan Jepang: kurikulum yutori. Istilah yutori berarti "kelapangan" atau "ruang bernapas." Diperkenalkan bertahap sejak awal 2000-an, yutori adalah bentuk koreksi terhadap sistem pendidikan Jepang yang sebelumnya terlalu padat, kaku, dan penuh tekanan. Sebelum yutori, hari sekolah bisa sampai Sabtu, dan anak-anak tenggelam dalam les tambahan dan persiapan ujian. Sistem itu memang mencetak siswa berprestasi, tetapi sekaligus menciptakan generasi yang letih, tertekan, dan jauh dari kehidupan yang seimbang.

Melalui kurikulum ini, pemerintah Jepang memangkas jam pelajaran, menyederhanakan muatan materi, dan mendorong aktivitas yang membentuk kepribadian. Anak-anak diajak menjelajah lingkungan, berdiskusi, berkreasi, dan belajar lewat pengalaman nyata. Ini bukan upaya melemahkan pendidikan, melainkan memperkaya maknanya. Anak-anak diajarkan tidak hanya untuk tahu, tetapi untuk mengerti; tidak hanya untuk bisa menjawab soal, tetapi untuk bisa memahami kehidupan.

Reformasi ini sempat menuai kritik karena penurunan performa akademik dalam survei internasional. Namun Jepang tidak mundur. Mereka memilih menyesuaikan dan menyeimbangkan ulang, sambil mempertahankan semangat utama yutori: bahwa pendidikan bukan hanya transmisi pengetahuan, tetapi pembentukan manusia seutuhnya. Hasilnya mulai tampak hari ini. Generasi pasca-yutori tumbuh sebagai individu yang tidak mudah patah oleh persaingan, lebih sadar diri, dan tidak melihat hidup sebagai arus yang harus terus dilawan.

Banyak lulusan sekolah Jepang kini tidak mengejar karier spektakuler. Mereka bekerja di perusahaan biasa, dengan penghasilan sekitar 3 hingga 4 juta yen per tahun. Namun dari angka itu, mereka membangun hidup yang cukup: membeli rumah mungil, memiliki kendaraan seperlunya, dan yang terpenting, menyisakan waktu untuk menikmati sore bersama keluarga. Tidak ada dorongan membabi buta untuk menjadi bos atau kaya raya. Tidak karena mereka tidak mampu, melainkan karena mereka memilih untuk tidak menjadikan ambisi sebagai satu-satunya pusat gravitasi hidup.

Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup, tapi cerminan dari pergeseran nilai dalam masyarakat pasca-industrial. Sosiolog Ronald Inglehart menyebutnya sebagai post-material values: ketika masyarakat mulai lebih menghargai kualitas hidup, hubungan antarpribadi, dan ekspresi diri daripada kekayaan atau jabatan. Jepang hari ini adalah contoh nyata dari nilai-nilai tersebut. Mereka tidak lagi terobsesi menumpuk tabungan, karena negara telah menjamin hal-hal mendasar: perawatan medis untuk anak-anak gratis, sekolah berbasis TIK hingga SMA gratis, bahkan kuliah bisa dibiayai negara dalam banyak skema. Kehidupan menjadi lebih ringan bukan karena semuanya mudah, tetapi karena beban dasarnya dipikul bersama.

Jepang mengajarkan pada kita bahwa produktivitas yang sehat justru membutuhkan ritme yang manusiawi. Bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari pencapaian besar, tapi dari rutinitas yang bermakna. Bahwa sukses bukan harus tentang mengalahkan orang lain, tapi bisa juga berarti berdamai dengan diri sendiri dan cukup dengan apa yang ada.

Mungkin inilah pelajaran yang bisa kita bawa pulang. Di Indonesia, narasi sukses masih sangat vertikal, naik jabatan, punya rumah besar, dikenal banyak orang. Tapi mungkin sudah saatnya kita mulai menulis narasi yang lebih horizontal: sukses sebagai orang tua yang sabar, sebagai warga yang tidak merugikan sesama, sebagai manusia yang tetap utuh di tengah dunia yang menuntut terlalu banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun