Pada dini hari Senin, 12 Mei 2025, pukul 03.30 WITA, hujan deras mengguyur Samarinda tanpa jeda, menjelma deras yang melingkupi seluruh penjuru kota, dari Samarinda Kota hingga Samarinda Seberang. Intensitas dan durasinya melampaui hujan biasa, ia hadir sebagai amukan langit yang penuh makna simbolik. Yang lebih ironis, hujan ini datang tepat di Hari Raya Waisak, sebuah hari yang sarat perenungan spiritual bagi umat Buddha, namun kali ini berubah menjadi hari penuh duka, kepanikan, dan kerusakan.
Menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Samarinda, Lempake menerima 153 mm curah hujan harian, diikuti oleh Samarinda Utara (122 mm), Samarinda Ulu (71 mm), dan Sungai Kujang (66,3 mm). Data ini bukan sekadar indikator meteorologis; ia adalah cermin dari ekosistem yang sedang mengirim sinyal peringatan keras. Tetapi sayangnya, respons kita terhadap peringatan-peringatan ini tetap bersifat reaktif, bukan reflektif.
Sungai-sungai kota, Mumus, Simajid, Jombang, dan Keloa, meluap setelah waduk Sangiran dan Lampar mencapai kapasitas maksimumnya. Air menyapu hunian, sekolah, rumah ibadah, fasilitas umum, dan infrastruktur kota. Bahkan, tanah yang seharusnya menopang kehidupan berubah menjadi kekuatan destruktif.Â
Longsor mematikan terjadi di Jalan Delima Raya, merenggut nyawa dua kakak-beradik: Fitri (14) dan Nurul Syakira (17). Di Gunung Lingai, empat nyawa lainnya hilang tertimbun tanah. Tak hanya itu, pohon-pohon tumbang di banyak titik, seperti di Lubuk Sawah, menjadi simbol jatuhnya ketahanan ekologis kota ini.
Seluruh sektor ekonomi terhenti. Perdagangan lumpuh, lalu lintas barang tersumbat, tempat hiburan tutup, bahkan perayaan Waisak pun terpaksa dibatalkan.Â
Dampak sosial, ekonomi, dan psikologis dari banjir ini menjelma trauma kolektif yang berulang dari tahun ke tahun. Sayangnya, narasi banjir tahunan Samarinda telah menjadi keniscayaan sosial yang nyaris diterima dengan fatalisme pasrah.
Pepatah lokal yang berbunyi "Samarinda artinya sama rendah" kerap dijadikan alasan pembenar ketidakberdayaan struktural. Namun pertanyaannya: sampai kapan kita berdiam dalam kebiasaan pasrah yang disfungsional? Apakah mungkin kota ini bisa memutus siklus bencana jika terus membingkai banjir sebagai takdir, alih-alih sebagai konsekuensi desain tata ruang yang abai?
Kita harus mengakui bahwa Samarinda dianugerahi lanskap hidrologis yang kompleks, dilalui oleh Sungai Mahakam, sungai terpanjang kedua di Kalimantan, yang membentang sejauh 920 km, dengan kedalaman hingga 30 meter dan lebar mencapai 500 meter.Â
Seharusnya, keberadaan sungai ini menjadi aset ekologis, bukan sumber ancaman. Namun justru, alih-alih membangun sistem yang mampu mengelola air secara cerdas, kita lebih sering memilih jalur destruktif: menutup saluran air, merusak daerah resapan, membangun perumahan di sempadan sungai, dan mengabaikan prinsip daya dukung lingkungan dalam tata ruang.
Dalam diskursus perencanaan kota berbasis ekologi, banjir bukan semata fenomena hidrometeorologi, melainkan indikator dari kegagalan sistemik tata kelola ruang dan infrastruktur.Â