Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lapar yang Disengaja, Luka yang Diabaikan

14 Mei 2025   07:36 Diperbarui: 14 Mei 2025   07:36 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Mohammed Abubakr: https://www.pexels.com/id-id/foto/kota-orang-banyak-kerumunan-orang-sekumpulan-orang-19490608/ 

Di abad ke-21, dunia menyaksikan anak-anak kurus kering berbaring lemah dalam pelukan ibu mereka yang tak berdaya. Tubuh-tubuh kecil itu bukan korban kelalaian, bukan pula akibat bencana alam. Mereka adalah korban sebuah kehendak politik yang dingin, sistematis, dan tak mengenal belas kasihan. Mereka adalah korban dari kelaparan yang dirancang.

Gaza bukan negeri yang kehabisan air atau lahan subur. Ia bukan Somalia di musim paceklik, bukan Sudan yang dirundung konflik internal. Gaza adalah tanah yang dipaksa menderita, yang setiap helai rotinya disita oleh blokade, setiap tetes airnya diperiksa oleh pasukan bersenjata, dan setiap upaya penyelamatan dituding sebagai ancaman. Kelaparan yang terjadi di sana hari ini bukanlah kegagalan sistem pangan, melainkan keberhasilan strategi penghukuman kolektif.

Blokade Israel atas Gaza telah memasuki minggu kesepuluh. Ribuan ton bantuan pangan dan medis tertahan di perbatasan, sementara 2,3 juta warga Gaza bergantung sepenuhnya pada dunia luar untuk bertahan hidup. Menurut IPC (Integrated Food Security Phase Classification), 477.000 orang telah berada dalam level kelaparan paling parah. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah manusia, ibu yang tak mampu menyusui bayinya, remaja yang pingsan karena lapar, lansia yang perlahan mati karena tubuhnya tak lagi mampu menyerap gizi.

Israel menolak pengakuan IPC. Mereka bilang jumlah bantuan sudah cukup, seolah statistik bisa menutupi fakta bahwa 22% populasi Gaza berada di ambang kematian karena kelaparan. Mereka berdalih bahwa mekanisme distribusi harus diperbarui demi alasan "keamanan." Namun dunia tahu, blokade ini bukan semata taktik militer. Ini adalah instrumen tekanan, senjata politik yang dijalankan dengan mengorbankan hak paling dasar manusia, hak untuk hidup.

Dalam sejarah, kelaparan massal telah menjadi tanda gelap bagi peradaban. Ukraina pernah merasakannya di era Stalin, Cina di masa Mao, dan Somalia pada 2011. Kini Gaza menyusul dalam daftar itu, bukan karena gagal panen, melainkan karena tangan manusia memilih menutup pintu gudang makanan, merobohkan ladang, menghancurkan sumur, dan menolak pengiriman bantuan.

Beth Bechdol dari FAO menyebut 75% lahan pertanian Gaza telah hancur. Dua pertiga sumur irigasi tak lagi berfungsi. Tak ada yang bisa ditanam. Tak ada yang bisa dipanen. Sementara itu, anak-anak antre di dapur umum, saling dorong demi semangkuk lentil. Ketika dapur tutup karena stok habis, mereka mencari rumput, makan kura-kura, atau hanya duduk diam menahan nyeri perut yang kosong.

Israel dan sekutunya berkilah, menuding Hamas menyabotase bantuan. Padahal lembaga-lembaga internasional dari PBB hingga Oxfam membuktikan distribusi berjalan merata. Tuduhan itu adalah pengalihan, upaya mendeligitimasi lembaga kemanusiaan, dan memperpanjang penderitaan warga sipil. Bahkan ketika Hamas membebaskan satu sandera sebagai itikad untuk mendorong gencatan senjata, Israel tetap melanjutkan serangan dan mengebom sekolah yang digunakan sebagai tempat perlindungan, menewaskan belasan warga sipil.

Sementara itu, skema distribusi bantuan yang diajukan AS dan disetujui Israel mengisyaratkan motif tersembunyi. Bantuan hanya akan disalurkan oleh organisasi baru, Gaza Humanitarian Foundation, yang tidak punya rekam jejak transparansi. Distribusinya juga hanya di wilayah Selatan Gaza, memaksa ratusan ribu warga berpindah dan berkerumun dalam satu area. Bukankah itu bentuk pengusiran terselubung? Bukankah ini pola yang telah lama dituduhkan sebagai strategi pemutihan wilayah utara Gaza?

Bahkan PBB tak ingin terlibat. Mereka menolak mekanisme baru itu karena melihat potensi besar penyalahgunaan dan politisasi. Ketika bantuan kemanusiaan dijadikan alat tawar-menawar politik, kita tak hanya kehilangan rasa belas kasih, tapi juga mengingkari seluruh nilai kemanusiaan yang telah diwariskan dalam hukum internasional sejak Nuremberg.

Dunia tidak kekurangan data. Dunia hanya kekurangan empati. Kekurangan keberanian untuk berkata cukup. Setiap unggahan tentang Gaza, setiap gambar anak kurus kering, adalah panggilan moral untuk berhenti membiarkan kejahatan ini berlanjut. Kita sudah terlalu lama bersikap sebagai penonton, menyaksikan kekejaman terjadi di layar gawai, lalu melanjutkan hari seolah tak ada yang berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun