Dunia memang belum terbakar. Tapi bau bensin di udara mulai menyengat. Sekitar satu dekade terakhir, geopolitik global ibarat tungku raksasa: diisi bahan bakar konflik, dikipasi kepentingan ekonomi, lalu dipanaskan dengan propaganda. Pertanyaannya bukan lagi "apakah" akan meledak, melainkan "kapan" dan "di mana" letupan pertama itu akan terjadi. Karena jika kita memeriksa dengan jujur, sejarah telah mengajarkan satu pola sederhana: perang besar tidak pernah muncul tiba-tiba. Ia selalu diawali dengan gladi resik. Dan kini, tampaknya dunia sedang melakoninya.
Perhatikan garis waktunya. Ukraina terbakar lebih dulu, seperti titik api yang menandai bahwa tatanan dunia pasca-Perang Dingin rapuh. Lalu Timur Tengah, kawasan yang selalu meletup-letup, kembali menjadi titik konsentrasi ketegangan global. Dan kini, giliran Asia Selatan, India dan Pakistan, menggeliat dalam dinamika yang menegangkan. Sebuah konfrontasi dua negara nuklir, yang dalam keadaan normal saja sudah membuat dunia menahan napas. Tapi ini bukan keadaan normal. Ini adalah era pasca-pandemi, saat ekonomi global tersendat, saat supremasi dolar mulai digugat, dan saat kekuatan lama, Barat, diperhadapkan pada poros baru: BRICS.
Jika kita belajar dari Perang Dunia I, kita tahu bahwa ketegangan antarnegara besar waktu itu bukan hanya urusan wilayah. Di balik krisis Balkan, ada pertarungan aliansi, ekspansi kekuatan militer, dan perlombaan industri persenjataan. Dunia dipenuhi unjuk kekuatan, latihan militer gabungan, dan pembentukan blok-blok yang bersiap jika skenario terburuk datang. Begitu pula Perang Dunia II. Sebelum meletus di Polandia, Jepang sudah masuk ke Manchuria, Italia ke Ethiopia, dan Jerman sibuk mencaplok Austria dan Cekoslowakia. Semua pihak tahu perang sedang dipanaskan, tetapi tak satu pun mau menyebutnya secara terbuka.
Kini, pola itu terulang dengan langgam baru. Ukraina, sejak 2014, sudah menjadi panggung perang proksi antara NATO dan Rusia. Ketika perang terbuka meledak pada 2022, dunia langsung tahu: ini bukan soal Donbas atau Crimea saja. Ini adalah soal dominasi. Lalu Timur Tengah menyusul, dari Gaza sampai perairan Laut Merah, krisis tak pernah betul-betul reda. Dan sekarang, India dan Pakistan. Dua negara yang punya sejarah permusuhan panjang, dua negara yang sama-sama punya senjata nuklir, dan dua negara yang kini mewakili dua poros kekuatan global: India dengan Rusia dan Barat, Pakistan dengan China.
Ketika jet tempur J-10C buatan China menjatuhkan empat jet Rafale India, simbol kekuatan teknologi Prancis, dunia tidak sekadar mencatatnya sebagai berita militer. Ini adalah pesan: bahwa dominasi Barat di langit sudah mulai runtuh. Lebih dari itu, ini adalah panggilan keras bahwa perang di masa depan tidak lagi ditentukan oleh harga dan merek, melainkan oleh efisiensi dan adaptabilitas. Kemenangan tidak lagi datang dari siapa yang lebih besar, tapi siapa yang lebih siap.
Indonesia, yang baru saja bergabung dalam BRICS, kini berdiri di ambang risiko. Kita telah memilih poros baru, dan itu bukan keputusan kecil. Dalam politik internasional, berpihak berarti ikut menanggung konsekuensi ketika poros itu pecah. Dan saat kita menyaksikan India dan Pakistan bersitegang, kita menyaksikan dua anggota BRICS mulai saling membidik senjata. Sebuah tragedi klasik, yang dulu juga dialami aliansi-aliansi besar dalam sejarah. BRICS yang dibangun untuk menandingi dominasi Barat, justru bisa runtuh dari dalam. Dan ketika itu terjadi, negara yang baru saja mendaftar menjadi anggota akan ikut tergilas oleh runtuhnya tenda besar itu.
Tentu saja, belum ada yang berani menyebut ini sebagai permulaan Perang Dunia III. Tapi tanda-tandanya terlalu jelas untuk diabaikan. Dunia sudah terlalu banyak menyaksikan latihan militer besar-besaran, terlalu banyak membaca dokumen strategi nasional yang mencantumkan "ancaman nyata dari negara X atau Y," terlalu banyak sanksi ekonomi, embargo teknologi, dan pembentukan koalisi militer. Itu semua bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Itu adalah ritual pemanasan, seperti gladi resik sebelum lakon besar dimulai.
Masalahnya, tak banyak negara yang punya ruang untuk menghindar. Indonesia, misalnya. Kita terlalu dekat dengan Selat Malaka, terlalu bergantung pada perdagangan global, terlalu terhubung dalam jaringan teknologi dan keuangan internasional. Jika perang meledak, dampaknya tak akan menunggu lama. Krisis energi, krisis pangan, gangguan logistik, capital outflow, bahkan gangguan telekomunikasi akibat ledakan EMP dari senjata nuklir, semuanya bisa menjangkau kita hanya dalam hitungan hari. Maka, bersikap netral saja tidak cukup. Kita harus aktif dalam diplomasi damai, memperkuat ketahanan nasional, dan menyiapkan strategi menghadapi dunia yang berubah drastis dalam waktu singkat.
Dunia sedang bergerak, dan arah pergerakannya mengarah pada konfrontasi terbuka. India dan Pakistan hanya satu bab dari skenario besar ini. Jika mereka benar-benar berperang, bukan hanya BRICS yang akan terguncang, tapi seluruh arsitektur geopolitik Asia. Dan jika Asia goyah, maka dunia akan limbung. Karena dalam sejarah, perang besar selalu lahir dari satu wilayah yang gagal menahan diri.
Dalam buku-buku sejarah masa depan, mungkin generasi berikutnya akan membaca bahwa Perang Dunia III tidak dimulai dengan satu peluru, tapi dengan serangkaian peristiwa kecil: konflik Ukraina, ketegangan di Gaza, penembakan jet Rafale, dan komentar sinis pemimpin dunia yang lebih memilih menonton ketimbang mencegah. Kita belum sampai di titik itu. Tapi kita juga tidak lagi jauh.