Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Darah di Lantai Pasar dan Harga Kemanusiaan yang Semakin Murah

8 Mei 2025   13:43 Diperbarui: 9 Mei 2025   10:27 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Bamban heru on Unsplash       

Pada suatu pagi yang biasa di Pasar Mangu, Boyolali, suasana pasar yang semula ramai oleh suara tawar-menawar berubah menjadi kerumunan tegang. Di tengahnya, seorang wanita paruh baya tergeletak bersimbah darah, jilbabnya basah oleh luka yang menganga di wajahnya. Dia tidak membawa senjata tajam. Dia tidak merampok toko emas. Dia hanya mengambil dua kilogram bawang putih yang harganya bahkan tak sampai seratus ribu rupiah. Tapi harga luka dan air mata yang ia bayar, jauh melampaui itu.

Peristiwa seperti ini bukan pertama kali terjadi di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Ada pola yang berulang: seseorang tertangkap tangan mencuri, lalu massa berkumpul, emosi membakar, dan pukulan mengayun lebih cepat daripada akal sehat. Tak ada ruang untuk bertanya mengapa seseorang sampai mencuri. Tidak ada jeda untuk berpikir apakah ini soal kriminalitas murni, atau potret kelaparan yang tak lagi bisa ditahan.

Kita hidup di zaman ketika harga kebutuhan pokok melonjak, sementara daya beli rakyat jelata merosot perlahan tapi pasti. Di sela gempuran inflasi, di sela sorak sorai pemilu dan janji-janji pemimpin, ada manusia yang perutnya keroncongan sampai otaknya putus akal. 

Pencurian bawang mungkin bukan karena kebiasaan kriminal, tapi karena sudah tak ada lagi yang bisa dimakan hari itu. Tapi bukannya tangan pertolongan yang terulur, yang hadir justru tangan-tangan yang mengepal marah, menghakimi, dan mengayunkan balok atau sandal seperti sedang menyampaikan rasa kecewa pada dunia, lewat tubuh rapuh seorang nenek.

Kita tak sedang membenarkan pencurian. Hukum tetap harus ditegakkan. Tapi adakah ruang untuk mengingat bahwa di balik setiap pelanggaran, ada latar belakang yang layak didengar? Bukankah sistem hukum dibangun untuk memberi ruang pada keadilan, bukan menebarkan balas dendam?

Sosiologi hukum menyebutkan bahwa tindakan main hakim sendiri atau vigilantisme muncul saat masyarakat kehilangan kepercayaan pada aparat penegak hukum. Mereka merasa bahwa polisi terlalu lambat, atau bahkan tak hadir sama sekali. Tapi kecepatan bukanlah ukuran keadilan. Ketika masyarakat mengambil alih fungsi hukum, yang lahir bukan solusi, melainkan kekacauan dan spiral kekerasan yang tak berujung.

Di sisi lain, kriminologi modern mengajarkan kita pentingnya melihat akar penyebab tindak pidana. Ada faktor ekonomi, sosial, bahkan psikologis yang mendorong seseorang menjadi pelaku. Bila wanita paruh baya itu terbukti mencuri karena lapar, maka dia bukan hanya pelaku, tetapi juga korban: korban dari sistem ekonomi yang timpang, dari jaringan perlindungan sosial yang bolong, dari budaya masyarakat yang cepat menghakimi tapi lambat mengerti.

Kita perlu bertanya dengan jujur: ke mana perginya rasa iba? Ke mana lenyapnya nilai gotong royong yang selama ini dibanggakan? Jika di pasar kita, seorang lansia tidak bisa mencuri bawang tanpa dibalas darah, maka mungkin yang hilang bukan hanya kemanusiaan, tetapi juga nurani kolektif bangsa ini.

Sebagian mungkin berkata, "Kalau dibiarkan, nanti makin banyak yang mencuri." Tapi adakah orang waras yang mau babak belur demi dua kilogram bawang? Rasa takut tak akan pernah lebih kuat daripada rasa lapar. Hukuman yang manusiawi bukan berarti lunak. Ia hanya tidak barbar.

Tentu, pihak berwenang harus tetap bertindak. Polisi harus memproses kasus ini dengan adil, menindak pelaku penganiayaan sama seriusnya dengan pelaku pencurian. Dan lebih jauh dari itu, pemerintah daerah dan Kementerian Sosial perlu mengaktifkan kembali radar kepekaan terhadap warga lansia dan rentan yang sudah berada di ambang kelangsungan hidup. Jangan tunggu mereka mencuri dulu untuk bisa dilirik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun