Ada satu hal yang konsisten di dunia yang penuh ketidakpastian ini: dominasi dolar Amerika Serikat. Di tengah resesi global, ketegangan geopolitik, bahkan keruntuhan moral institusi pasar bebas, dolar tetap berdiri bak mercusuar. Tak bergeming, bahkan semakin bersinar. Pertanyaannya bukan sekadar "bagaimana" itu bisa terjadi, tetapi "mengapa" dan "untuk apa". Di sinilah kita mulai melihat politik moneter tidak lagi sebagai instrumen netral, tetapi sebagai senjata ekonomi dalam lanskap geopolitik modern.
Tarif perdagangan, sebagaimana pernah menjadi headline dalam perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, tampaknya bukan sekadar kebijakan proteksionis. Mereka adalah pengungkit dalam permainan nilai tukar. Ketika Washington menaikkan tarif terhadap barang-barang dari Beijing, bukan hanya terjadi perpindahan volume perdagangan, tetapi juga rekayasa nilai tukar yang jauh lebih subtil dimana kenaikan tarif atas produk Tiongkok dapat "dinetralisir" dengan cara melemahkan dolar terhadap yuan sebesar persentase yang sama. Ini bukan teori konspirasi, ini adalah kebijakan dengan lapisan kalkulasi makroekonomi yang dalam.
Untuk memahami taktik ini, kita perlu masuk ke dalam logika teori ekonomi makro terbuka. Dalam kerangka Mundell-Fleming, dikenal konsep trilema moneter atau impossible trinity: bahwa suatu negara tidak dapat sekaligus mempertahankan kebijakan moneter independen, nilai tukar tetap, dan arus modal bebas. Amerika, sebagai pusat sistem keuangan global, memiliki keistimewaan unik. Dengan posisinya sebagai penerbit mata uang cadangan dunia, ia dapat mengelola kebijakan moneternya dengan kebebasan luar biasa, sembari tetap mendorong likuiditas global dalam dolar.
Ketika tarif dikenakan, logika dasarnya tampak seperti penalti bagi negara eksportir. Namun dalam praktiknya, tarif itu seperti umpan yang disusul dengan gerakan manipulatif di balik layar. Melemahkan nilai tukar dolar membuat barang impor kembali kompetitif, dan konsumen Amerika tetap dapat membeli dengan harga yang relatif stabil. Ini adalah permainan keseimbangan yang kompleks, namun efektif. Dengan kekuatan institusi keuangannya, The Fed, Wall Street, IMF, Amerika mampu memainkan orkestrasi ini tanpa banyak perlawanan berarti.
Geopolitik memberikan konteks yang lebih luas. Perang dagang Amerika dan Tiongkok pada 2018--2019 bukan hanya soal defisit neraca berjalan atau pelanggaran hak cipta. Ini adalah bagian dari strategi membendung kebangkitan ekonomi Tiongkok. Dalam laporan-laporan yang bocor ke publik, terlihat bahwa Pentagon, bukan hanya Departemen Perdagangan, turut memantau dinamika tarif dan nilai tukar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi Amerika bukan hanya berbasis pada rasionalitas ekonomi semata, tetapi juga didorong oleh pertimbangan strategis keamanan nasional. Manipulasi nilai tukar di tengah kebijakan tarif adalah bagian dari strategi tekanan multidimensi terhadap rival geopolitik.
Efek domino dari strategi ini pun terasa global. Negara-negara berkembang yang bergantung pada perdagangan dengan Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi collateral damage. Ketika dolar menguat atau melemah secara strategis, arus modal bergerak liar. Mata uang negara-negara seperti Indonesia mengalami volatilitas yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan dengan instrumen konvensional. Di sinilah muncul paradoks yang mengganggu: negara berkembang harus mematuhi aturan permainan nilai tukar yang ditulis oleh negara adidaya, tanpa ruang yang cukup untuk menulis ulang aturan mereka sendiri.
Apa yang tampak sebagai dinamika nilai tukar sebenarnya adalah ekspresi dari kekuasaan. Dalam teori ekonomi heterodoks, khususnya pemikiran ekonomi politik internasional, nilai tukar bukan sekadar harga relatif antar mata uang, tetapi manifestasi dari relasi kuasa antar negara. Ketika dolar menjadi senjata, ia tidak hanya menembak pesaing ekonomi, tetapi juga membungkam suara alternatif dari negara-negara yang masih mencari tempat dalam tatanan global.
Namun, bahkan senjata paling tajam pun tak bisa digunakan tanpa batas. Ketergantungan global terhadap dolar juga menciptakan kerentanan sistemik. Ketika terlalu banyak negara memegang cadangan devisa dalam bentuk dolar, maka fluktuasi nilainya bisa memicu krisis kepercayaan. Ini pernah nyaris terjadi pada 2008 dan kembali menghantui saat pandemi melanda. Tapi lagi-lagi, dolar selamat. Mengapa? Karena belum ada alternatif yang cukup kredibel. Euro rapuh secara politik, yuan masih terkendali secara kapital, dan kripto, meski menjanjikan, belum stabil secara sistemik. Dunia seolah terperangkap dalam "ketergantungan simbiotik" dengan dolar.
Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lain, pelajaran dari fenomena ini bukanlah untuk memusuhi dolar, tetapi untuk memahami bagaimana sistem bekerja. Kita perlu memperkuat cadangan devisa, mendiversifikasi instrumen investasi, dan membangun kerangka kerja regional yang lebih mandiri, seperti memperkuat perdagangan dalam mata uang lokal melalui kerja sama ASEAN. Ini bukan sekadar langkah teknis, tapi bentuk perlawanan elegan terhadap dominasi yang terlalu lama dibiarkan tanpa tanding.
Lebih dari itu, kita harus mengembangkan literasi geopolitik dalam kebijakan ekonomi. Ketika tarif naik, jangan hanya lihat dampaknya terhadap inflasi atau PDB. Lihat siapa yang mengatur narasi, siapa yang menekan tombol, dan siapa yang tertawa di balik layar. Karena dunia hari ini tidak hanya dipimpin oleh logika pasar, tetapi oleh permainan kekuasaan dalam arena global yang makin kompleks.