Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menemukan Wajah Hukum dalam Cermin Masyarakat

3 Mei 2025   07:37 Diperbarui: 3 Mei 2025   07:37 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Tara Winstead: https://www.pexels.com/id-id/foto/buku-buku-pustaka-latar-belakang-putih-hukum-8850741/

Di hadapan undang-undang yang rapi tertulis dalam lembaran negara, terselip realitas yang sering tak terjangkau oleh tafsir normatif. Di balik meja hijau yang bersih dari emosi, masyarakat tetap gaduh oleh kelindan konflik, kebutuhan, dan harapan. Maka di sinilah sosiologi hukum hadir, bukan untuk menggantikan hukum normatif, melainkan untuk menyentuh sisi kemanusiaan hukum itu sendiri, ia melihat hukum sebagaimana manusia menjalaninya, bukan sekadar bagaimana hukum itu seharusnya berlaku.

Sosiologi hukum, sebagai cabang muda dalam lanskap ilmu sosial, lahir dari rasa ingin tahu yang tak puas oleh pendekatan positivistik semata. Ia bukan sekadar bertanya "apa hukumnya?" melainkan juga "mengapa hukum itu tidak berjalan seperti seharusnya?" atau "bagaimana sebenarnya hukum itu dipraktikkan oleh masyarakat?". Dari sini, muncul kebutuhan untuk menyelami hukum sebagai fenomena sosial yang senantiasa berinteraksi, bernegosiasi, bahkan bertabrakan dengan realitas yang tak pernah statis.

Kerap disalahpahami sebagai disiplin yang kabur batasnya, sosiologi hukum justru tumbuh dalam keragaman pendekatan yang kaya. Ia tidak menetapkan satu rumus kaku, tapi membuka ruang bagi observasi yang membumi. Seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto, sosiologi hukum berupaya menganalisis hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial lain secara empiris dan analitis. Artinya, hukum bukanlah menara gading, melainkan bagian dari dinamika kehidupan sosial yang harus dipahami dalam konteksnya.

Di sisi lain, Satjipto Rahardjo dengan elegan menempatkan hukum bukan hanya sebagai sistem norma, tapi sebagai pola perilaku yang hidup di tengah masyarakat. Dalam karyanya, beliau menegaskan pentingnya memahami hukum sebagai living law, hukum yang hidup dalam kesadaran kolektif masyarakat, bahkan ketika hukum tertulis tidak menjangkaunya. Perspektif ini menyentuh jantung dari pendekatan sosiologis: hukum harus mengakar dalam realitas sosial, bukan hanya mengawang dalam logika normatif.

Pemikiran ini bersambut dengan pandangan para pemikir klasik seperti Eugen Ehrlich yang menekankan pentingnya hukum dalam praktik sehari-hari masyarakat, bukan semata hukum dalam buku. Atau Roscoe Pound, yang menyebut hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering), menjadikan hukum tidak hanya sebagai penjaga keteraturan, tetapi juga sebagai instrumen perubahan.

Namun menariknya, pendekatan sosiologi hukum bukanlah hal yang sejalan dengan pemikiran positivisme hukum ala Hans Kelsen yang memisahkan hukum dari aspek-aspek sosial. Bagi Kelsen, hukum adalah sistem normatif yang harus bersih dari anasir sosiologis. Tapi dalam kenyataannya, masyarakat tidak hidup di ruang vakum normatif. Setiap pasal yang tertulis tak akan pernah bernyawa tanpa pemahaman terhadap konteks sosial yang mengitarinya. Maka ketika positivisme menyusun hukum sebagai hierarki dari konstitusi hingga kebiasaan, sosiologi hukum justru bertanya: dari mana legitimasi sosial itu muncul? Apa dasar sosial dari hukum itu sendiri?

Sosiologi hukum pun melangkah lebih jauh dengan tidak hanya menggambarkan praktik hukum, tetapi juga menjelaskan latar belakangnya. Ia mencoba memahami mengapa suatu peraturan ditaati, diabaikan, atau bahkan dilawan. Dalam pendekatan ini, hukum tak dibedakan antara yang 'sesuai' atau 'menyimpang'. Keduanya adalah objek kajian yang sama pentingnya. Justru melalui pemahaman terhadap penyimpanganlah sering kali hukum menemukan kelemahan dirinya, dan dari sanalah reformasi hukum bisa dimulai.

Max Weber menyebut pendekatan ini sebagai interpretatif understanding, pemahaman yang tidak hanya mengamati perilaku lahiriah, tetapi juga motif di balik tindakan. Karena pada akhirnya, hukum tidak berjalan di ruang hampa; ia menapaki realitas yang dipenuhi harapan, ketakutan, kepentingan, bahkan kecemasan. Itulah mengapa sosiologi hukum penting: ia mendengar suara-suara yang tidak terekam dalam peraturan.

Dari sudut ini, kajian sosiologi hukum membawa manfaat praktis yang tak bisa diabaikan. Ia memungkinkan kita mengukur efektivitas hukum positif, mengkonstruksi fenomena hukum dalam masyarakat, hingga memetakan masalah sosial yang berkaitan dengan penerapan hukum. Ia menjadi lensa yang menghubungkan apa yang 'ada' dengan apa yang 'seharusnya ada'.

Dalam dunia di mana ketimpangan, diskriminasi, dan konflik sosial terus mengemuka, hukum sering kali menjadi saksi bisu yang tertinggal. Maka sosiologi hukum mengajukan pertanyaan yang tajam namun penting: bagaimana hukum bisa menjadi lebih relevan? Bagaimana hukum bisa menjadi milik semua orang, bukan hanya mereka yang mengerti teksnya? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar retoris; mereka adalah landasan moral dari kehadiran hukum dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun