Viktimisasi dalam kajian kriminologi tidak selalu menghadirkan wajah biru lebam atau jeritan minta tolong. Dalam banyak situasi, ia menjelma sebagai kondisi sosial yang diterima tanpa perlawanan, bahkan tanpa disadari. Ini adalah problem besar dalam masyarakat modern, ketika kekerasan tidak lagi bergantung pada kekuatan fisik, tetapi mengalir dari struktur sosial, ekonomi, hingga budaya yang diam-diam melukai. Kita hidup dalam sistem yang menyembunyikan kejahatan di balik rutinitas, dan memproduksi korban dalam bentuk-bentuk yang tak teridentifikasi sebagai penderitaan.
Fenomena fear of crime menjadi gejala permukaan dari realitas ini. Ketakutan menjadi korban kejahatan tidak selalu muncul karena pengalaman pribadi, tetapi sering kali dibentuk oleh lingkungan sosial, cerita media, dan konstruksi kolektif tentang siapa yang rentan dan mengapa. Dalam masyarakat yang penuh ketimpangan dan keterasingan, rasa takut bukan semata gejala psikologis, tetapi refleksi dari kerapuhan institusional dalam memberikan rasa aman. Persepsi terhadap risiko kejahatan menjadi gambaran tentang kepercayaan publik terhadap sistem, dan sering kali berakhir pada keputusan-keputusan preventif yang justru memperkuat segregasi sosial.
Risiko untuk menjadi korban tidak merata. Ia dibentuk oleh gabungan dari gaya hidup, pekerjaan, dan struktur sosial tempat seseorang berada. Dalam kerangka kriminologi, ini dikategorikan sebagai low-risk, medium-risk, dan high-risk victim. Tapi klasifikasi ini, meskipun penting untuk analisis, mengandung jebakan pemikiran yang berpotensi menyalahkan korban. Ada kecenderungan melihat gaya hidup sebagai pemicu risiko tanpa melihat konteks struktural yang memaksa orang menjalani gaya hidup tersebut. Ketika seseorang bekerja di malam hari karena itulah satu-satunya cara memenuhi kebutuhan dasar, menyebutnya high-risk tanpa melihat kenapa ia berada dalam posisi itu adalah bentuk pengabaian terhadap akar masalah.
Dalam konteks ini, gaya hidup tidak semata pilihan personal tetapi reaksi terhadap struktur sosial. Kemiskinan, kurangnya akses pekerjaan yang layak, hingga tekanan konsumtif yang dibentuk oleh media, menjadikan banyak orang hidup dalam ritme yang sebenarnya tidak mereka kehendaki. Risiko viktimisasi akibat gaya hidup bukan hasil dari kebebasan individu, melainkan hasil dari keterpaksaan sistemik. Bahkan ketika seseorang tampak memilih, sering kali pilihannya muncul dari keterbatasan.
Penting dicatat bahwa kekerasan tidak selalu bersumber dari niat jahat individu. Dalam masyarakat modern, bentuk-bentuk kekerasan baru muncul dari kelalaian, eksploitasi, dan pengabaian institusional. Contoh konkret adalah praktik perdagangan anak untuk prostitusi. Dalam banyak kasus, korban direkrut dengan cara manipulatif, dibujuk atau dijual oleh orang yang dikenal, termasuk keluarga sendiri. Ini bukan sekadar kejahatan personal, tetapi ekspresi dari kegagalan sistem untuk menyediakan perlindungan sosial dan ekonomi, serta lemahnya penegakan hukum terhadap eksploitasi.
Anak-anak dalam jaringan perdagangan manusia tidak hanya kehilangan masa kecilnya, tetapi juga mengalami kerusakan psikologis, fisik, dan sosial yang berkepanjangan. Mereka bukan hanya korban dari pelaku individu, melainkan korban dari sistem yang membiarkan eksploitasi berlangsung di balik pembenaran ekonomi. Banyak dari mereka tidak punya kesempatan untuk memahami bahwa mereka sedang menjadi korban. Ini menjadikan bentuk viktimisasi mereka tidak hanya akut, tetapi juga struktural.
Masalah tidak berhenti di sana. Kekerasan struktural juga hadir dalam bentuk yang lebih subtil namun meluas, terutama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kelas menengah kota. Beban kerja yang tinggi, tekanan hidup yang terus-menerus, serta ketidakpastian akan masa depan menciptakan penderitaan kolektif yang sering kali tidak dipahami sebagai bentuk kekerasan. Fenomena ini mencerminkan adanya bentuk viktimisasi yang tak disadari, tetapi nyata dalam bentuk stres kronis, kelelahan emosional, dan alienasi sosial.
Di sinilah kriminologi memiliki tugas yang lebih luas daripada sekadar menganalisis pelaku kejahatan. Ia harus mampu membaca struktur yang memproduksi kejahatan dan korban secara bersamaan. Ketika lembaga layanan kesehatan mengabaikan standar keamanan transfusi darah karena alasan efisiensi biaya, dan akhirnya menyebabkan infeksi HIV pada pasien hemofilia, maka kita sedang menyaksikan wajah baru dari kejahatan berkerah putih. Pasien, dalam hal ini, bukan hanya korban malpraktik, melainkan korban dari sistem ekonomi kesehatan yang mengutamakan laba di atas keselamatan manusia.
Viktimisasi dalam bentuk-bentuk seperti ini sulit diungkap karena beroperasi dalam sistem yang legal, terstruktur, dan terlindungi oleh norma teknokratis. Masyarakat pun cenderung pasif, karena tidak menyadari atau karena merasa tidak punya kuasa untuk melawan. Ketidakpedulian menjadi pelumas yang memungkinkan kekerasan terus berjalan. Bahkan ketika korban sadar akan ketidakadilan yang dialaminya, ketakutan akan stigma atau konsekuensi hukum membuat mereka memilih diam.
Untuk itulah urgensi membongkar pemahaman kita tentang kejahatan. Kita tidak bisa terus menerus menganggap kejahatan hanya sebagai tindakan menyimpang dari norma hukum. Kejahatan harus dibaca juga sebagai kegagalan sistemik yang memproduksi penderitaan melalui ketimpangan, eksploitasi, dan pengabaian. Mengapa anak-anak bisa dijadikan komoditas dalam industri seks? Mengapa pekerja informal harus menghadapi risiko kematian di malam hari hanya karena tidak ada pilihan transportasi aman? Dan mengapa tekanan hidup yang berlebihan dianggap sebagai harga wajar untuk bertahan hidup?