Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Kriminologi Tak Bisa Berdiri Sendiri?

30 April 2025   15:52 Diperbarui: 30 April 2025   18:08 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Tara Winstead: pexels.com

Dalam setiap keheningan di ruang sidang, ada gema panjang dari kehidupan terdakwa yang tak tercatat dalam pasal. Di balik setiap vonis, ada sejarah sosial, pergulatan batin, dan keretakan budaya yang tak terbaca oleh palu hakim. Di sinilah kriminologi mengambil peran, bukan untuk menyaingi hukum pidana, melainkan untuk membacakan naskah kehidupan yang seringkali tak terdengar dalam logika normatif perundang-undangan.

Banyak orang menyangka kriminologi adalah cabang dari ilmu hukum pidana, hanya semacam pelengkap bagi jaksa atau penyidik. Namun, menyamakan keduanya seperti mengira dokter dan antropolog sama hanya karena sama-sama mempelajari manusia. Hukum pidana berangkat dari norma, apa yang boleh dan tidak boleh. Ia dogmatis dan deduktif. Sementara kriminologi adalah penelusur realitas. Ia empiris dan induktif. Hukum bertanya "apa aturan yang dilanggar?"; kriminologi menggali "mengapa aturan itu dilanggar, dan dalam kondisi apa?"

Bayangkan seorang pria yang membunuh seseorang karena merasa kehormatan keluarganya dirusak. Di hadapan hukum, ia pembunuh. Tapi dalam tatanan budaya tertentu, ia justru pahlawan keluarga. Apakah ia kejam? Atau justru taat pada nilai yang lebih tinggi dari sekadar hukum negara? Antropologi hadir di titik ini, membantu kriminologi memahami bahwa perilaku manusia tidak lahir di ruang hampa. Ia dilahirkan, dibentuk, dan dijustifikasi oleh struktur budaya yang hidup dalam masyarakatnya. Maka, memahami kejahatan tanpa memahami budaya ibarat membaca puisi dalam bahasa yang tak dikenal.

Kita menyaksikan pula bagaimana dalam sistem masyarakat tertentu, harga diri bukan sekadar nilai moral, melainkan mata uang sosial. Hilangnya harga diri bisa lebih menyakitkan dari luka fisik, dan penebusannya menuntut tindakan yang setimpal. Dalam kerangka budaya semacam ini, tindakan "kejahatan" kadang menjadi semacam ritus pemulihan identitas. Di sinilah kriminologi bertemu antropologi, dalam upaya mengurai nalar di balik tindak kekerasan yang dalam kacamata modern tampak irasional, tapi justru masuk akal dalam kebudayaan pelakunya.

Namun manusia bukan sekadar produk budaya. Ia juga makhluk dengan dinamika batin yang rumit. Freud, dengan psiko-analisisnya, membuka tabir dunia bawah sadar, tempat segala trauma, hasrat, dan impuls tersembunyi. Melalui kaca mata psikologi, kriminologi mampu melihat lebih tajam ke dalam: apakah pelaku memiliki gangguan jiwa? Apakah trauma masa kecil, represi emosional, atau konflik batin turut melandasi tindakannya? Ketika seseorang mencuri bukan karena butuh, tetapi karena dorongan kompulsif yang ia sendiri tak pahami, kita tak cukup hanya memberi cap "penjahat." Kita perlu bertanya: apa yang luka di dalam dirinya?

Seiring waktu, pemahaman psikologi kriminal berkembang, dari sekadar mendeteksi gangguan hingga mencoba memetakan profil pelaku, memahami pola pikir, bahkan mengembangkan metode rehabilitasi. Pendekatan ini sangat penting, terutama ketika hukum pidana kini mulai bergeser dari sekadar menghukum ke arah memahami dan membina. Dengan itu, peran kriminologi menjadi semakin penting, karena ia menawarkan peta jalan untuk memahami manusia yang tersesat.

Sosiologi pun tak mau ketinggalan. Kriminologi bersandar pada sosiologi untuk memahami bagaimana struktur masyarakat mempengaruhi angka kejahatan. Di lingkungan yang penuh ketimpangan, kejahatan bukan semata kesalahan individu, tapi juga produk dari sistem yang timpang. Masyarakat yang terfragmentasi, minim kepercayaan, dan penuh kompetisi brutal menjadi ladang subur bagi perilaku menyimpang. Teori-teori sosiologi, dari anomie-nya Durkheim hingga labeling theory dari Becker, membantu kita memahami bahwa sering kali "penjahat" lahir bukan dari niat jahat, melainkan dari identitas yang ditempelkan oleh masyarakat.

Dan jangan lupakan kriminalistik, bidang yang memadukan sains dan teknologi dalam penegakan hukum. Dari sidik jari hingga analisis DNA, dari rekonstruksi TKP hingga forensik digital, kriminalistik menyediakan alat bantu objektif bagi kriminologi untuk menyusun kembali peristiwa secara faktual. Tanpa bukti yang valid, semua teori tentang niat dan motif hanya akan berakhir pada spekulasi. Maka kriminalistik menjadi sekutu strategis kriminologi, memastikan bahwa kajian sosial dan psikologis dilandasi oleh jejak fisik yang dapat diuji.

Kini kita melihat bahwa kejahatan adalah arena kompleks di mana berbagai disiplin ilmu bersilangan. Hukum pidana memberi bingkai normatif, tapi kriminologi mengisi kanvasnya dengan warna-warni realitas. Antropologi, psikologi, sosiologi, bahkan biologi dan ekonomi, semua punya kontribusi. Ketika kita ingin mencegah dan menanggulangi kejahatan, maka pendekatan sektoral tidak akan cukup. Kita memerlukan pendekatan holistik, yang tidak hanya menghukum pelaku, tapi juga memahami dan, jika perlu, menyembuhkannya.

Aparatur penegak hukum, dari polisi hingga hakim, tidak bisa hanya bersandar pada kitab undang-undang. Mereka juga perlu membaca buku-buku antropologi, mengikuti perkembangan psikologi, dan memahami dinamika sosial yang berkembang. Karena dalam realitas di lapangan, yang mereka hadapi bukan sekadar pasal, tetapi manusia dengan segala kompleksitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun