Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Saldo, Sinyal, dan Sepi: Perjalanan Psikososial Kita Bersama Bank Digital

29 April 2025   20:45 Diperbarui: 29 April 2025   20:45 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Ivan Samkov: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-laki-laki-lelaki-orang-7620903/ 

Saya mengenal bank digital bukan dari tren TikTok atau podcast finansial. Perjumpaan pertama saya sederhana: membuka rekening BCA Digital demi usaha kecil dan pembuatan QRIS agar pelanggan bisa membayar dengan cara kekinian. Tak lama kemudian, saya juga membuka akun BNI karena sistem payroll kantor mengalir ke sana. Dua langkah yang tampak administratif, namun rupanya membawa saya pada percakapan yang jauh lebih besar: tentang rasa memiliki, kecemasan, dan perubahan wajah keintiman sosial yang dulu kita temukan di loket-loket bank.

Sosiolog klasik mile Durkheim pernah menulis tentang bagaimana institusi sosial menciptakan rasa keterikatan dalam masyarakat. Dulu, bank bukan hanya tempat menyimpan uang, melainkan juga arena interaksi sosial. Ada petugas teller yang mengenal wajah kita, senyum hangat satpam yang menyapa dengan sopan, bahkan pelanggan lain yang ikut antre dan berbagi cerita. Kini, semua itu direduksi menjadi deretan notifikasi dan push message. Uang bergerak tanpa suara, tanpa wajah, tanpa konteks sosial. Kita kehilangan ritual.

Dari sisi psikologi, khususnya psikologi kognitif, transisi ini mengubah cara kita mempersepsi nilai. Ketika uang menjadi angka virtual di layar ponsel, keterhubungan kita dengan konsekuensi nyata dari pengeluaran pun menjadi tumpul. Konsep "uang panas", uang yang baru diterima dan langsung dibelanjakan, kian relevan dalam era digital. Beberapa aplikasi bahkan mempermudah pinjaman kilat atau fitur "bayar nanti," yang secara neurologis menunda sensasi kehilangan. Otak kita tidak lagi mengenali pengeluaran sebagai kehilangan riil, melainkan hanya pergeseran angka di layar. Ini bukan lagi sekadar kemudahan. Ini potensi bahaya dalam jubah kenyamanan.

Saya pribadi merasakan pergeseran ini. Dulu, mengeluarkan uang butuh usaha: membuka dompet, menghitung lembaran, menyerahkannya. Kini, cukup geser layar atau pindai kode QR. Transaksi selesai sebelum emosi sempat mencerna. Hal ini menciptakan disonansi kognitif, sebuah jurang antara tindakan dan kesadaran. Kita tahu uang kita berkurang, tapi kita tak benar-benar merasa telah mengeluarkannya.

Dari sudut sosiologi konsumen, ini juga menandai pergeseran besar dalam relasi kita dengan identitas sosial. Dulu, status ekonomi dikenali dari kendaraan yang dipakai atau toko tempat kita berbelanja. Kini, status juga ditunjukkan lewat aplikasi bank digital mana yang kita gunakan. Mereka yang memakai Jago dianggap tech-savvy. Pengguna Blu dilabeli loyalis BCA yang mencari efisiensi. Sementara pengguna Neo+ sering dicurigai sebagai pemburu cashback. Setiap pilihan aplikasi menjadi cermin identitas mikro yang memperkuat narasi personal. Kita menjadi konsumen sekaligus kurator identitas.

Namun perubahan ini tidak netral. Ia melahirkan "digital divide" baru, jurang yang memisahkan mereka yang melek teknologi dan mereka yang tertinggal. Sosiolog kontemporer menyebut ini sebagai "eksklusi digital": kelompok rentan seperti lansia, buruh informal, atau warga di daerah tanpa sinyal stabil, yang perlahan kehilangan akses pada layanan keuangan dasar karena tidak memiliki atau tidak mampu mengoperasikan aplikasi digital. Ironisnya, di saat kita merayakan efisiensi, sebagian saudara kita justru makin terpinggirkan.

Secara psikologis, bank digital juga menciptakan ilusi kontrol. Kita merasa lebih berdaya karena bisa memantau transaksi real-time, mengatur tabungan tematik, dan merencanakan keuangan secara otomatis. Tapi kontrol ini seringkali semu. Ketika semua serba instan, kita juga jadi lebih impulsif, lebih mudah terdistraksi, dan lebih tertekan untuk terus 'produktif secara finansial.' Banyak dari kita tak sadar sedang hidup dalam kondisi yang disebut "financial hypervigilance", waspada berlebihan terhadap kondisi keuangan, yang justru menimbulkan stres dan kelelahan mental. Padahal uang semestinya memberi rasa aman, bukan menciptakan kegelisahan baru.

Saya bukan hendak menyalahkan teknologi. Saya bersyukur bisa menyimpan, mengatur, dan memindahkan uang tanpa harus antre di kantor cabang. Tapi saya juga menyadari bahwa efisiensi ini menuntut kompensasi: hilangnya jeda, lenyapnya ruang refleksi, dan rapuhnya makna sosial dalam relasi kita dengan uang.

Di tengah semua ini, saya bertanya dalam hati: bagaimana anak-anak saya kelak memaknai uang? Apakah mereka akan tumbuh sebagai manusia yang menghargai jerih payah di balik angka, atau sekadar operator yang pandai memainkan aplikasi keuangan tanpa benar-benar mengerti nilai yang mereka kelola? Apakah mereka bisa merasakan beratnya menabung untuk cita-cita, atau cukup "klik dan geser" untuk menyusun mimpi yang terlalu mudah diwujudkan?

Teknologi tak dapat dihindari, dan memang tidak seharusnya dihindari. Tapi ia harus disertai kesadaran sosial dan psikologis yang matang. Kita butuh kurikulum baru dalam pendidikan keuangan, yang tidak hanya mengajarkan cara memakai aplikasi, tapi juga bagaimana menjaga relasi yang sehat dengan uang, rasa aman, dan keputusan finansial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun