Kita pernah percaya bahwa perubahan besar datang dengan tanda-tanda. Seperti awan gelap sebelum badai, atau gemuruh dari gunung sebelum letusan. Namun dalam dunia teknologi, badai bisa datang dalam sekejap klik, dan tak selalu memberi peringatan. Inilah zaman ketika revolusi tak lagi bertanya apakah kita siap. Tsunami teknologi sudah menanjak di cakrawala, dan kini saatnya kita tak sekadar memperhatikannya, melainkan memutuskan bagaimana ingin bertahan hidup di dalamnya.
Kita telah mendengar tentang kecerdasan buatan, robotika, komputasi kuantum, dan rekayasa genetika selama bertahun-tahun. Tapi kali ini bukan soal masa depan yang jauh. Ini bukan fiksi sains dalam episode "Black Mirror".Â
Ini adalah realitas yang digerakkan oleh data, kecepatan prosesor, dan ketamakan korporasi untuk efisiensi ekstrem. Ketika GPT-4 bisa menulis, mendesain, mengode, bahkan menganalisis hukum lebih cepat dari mayoritas manusia terdidik, kita sedang menyaksikan kekuatan disrupsi yang bukan hanya mengganti pekerjaan, tapi mengganti cara berpikir tentang pekerjaan itu sendiri.
Ekonomi pasar, sejak Revolusi Industri pertama, dibangun atas prinsip dasar bahwa manusia adalah pelaku utama dalam produksi dan konsumsi.Â
Tetapi jika mesin bisa mencipta, berproduksi, bahkan memahami keinginan pasar lebih baik dari manusia sendiri, maka siapa yang masih menjadi subjek dalam narasi ekonomi? Kita menghadapi ironi besar: teknologi menjanjikan efisiensi, tetapi bisa menggerogoti lapangan kerja.Â
Di sektor jasa, para kasir telah digantikan oleh self-checkout; di bidang hukum, para junior associate mulai kalah cepat dengan perangkat lunak prediktif; di ruang redaksi, jurnalis mulai bersaing dengan AI yang tak pernah lelah, tak butuh gaji, dan selalu "on".
Masalahnya bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tapi kehilangan makna. Di sinilah dimensi sosial mulai bergetar. Dalam sistem sosial modern, pekerjaan bukan sekadar sumber pendapatan.Â
Ia adalah identitas, status, bahkan moralitas. "Apa pekerjaanmu?" adalah pertanyaan pertama dalam perkenalan. Ketika jawaban itu tak lagi relevan karena sistem telah digantikan algoritma, maka kita bukan hanya kehilangan penghasilan, kita kehilangan tempat dalam struktur sosial.
Tentu, sejarah memberi kita optimisme. Setiap revolusi teknologi selalu menciptakan pekerjaan baru. Tetapi laju tsunami kali ini berbeda.Â
Ia bukan sekadar mengubah alat kerja, tapi logika kerja itu sendiri. Peralihan dari pekerjaan berbasis keterampilan ke pekerjaan berbasis kreativitas atau empati mungkin terdengar baik, tetapi berapa banyak dari kita yang telah dibekali untuk menjadi 'problem solver' kreatif dalam ekosistem yang makin tak manusiawi?