Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Lidah Kita Malas Bicara

8 April 2025   17:28 Diperbarui: 8 April 2025   17:32 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pete, sumber: https://www.alodokter.com/ini-manfaat-petai-bagi-kesehatan-tubuh-anda

Saya menonton sebuah short dari kanal Gastronusa. Durasi pendek, tapi dampaknya panjang. Bukan hanya soal makanan, tapi soal identitas. Bukan tentang resep, tapi tentang siapa yang akan mewariskan kisah di balik bumbu-bumbu yang kita anggap biasa itu.

Dalam video itu, disebutkan bagaimana Ferran Adri, chef legendaris dari El Bulli, memperkenalkan agar-agar ke dunia sebagai jelly yang unik karena tak meleleh saat dipanaskan. Bukan hal baru bagi kita. Bahkan sebelum zaman "nyokonyaku", generasi kita sudah akrab dengan agar-agar sebagai pencuci mulut paling demokratis: murah, meriah, dan memuaskan. Tapi begitu dijelaskan dengan bahasa asing, dipresentasikan dengan teknologi kuliner modern, mendadak yang biasa jadi luar biasa. Yang selama ini hanya kita makan tanpa banyak pikir, di tangan orang lain menjadi kebanggaan yang dikagumi.

Dan ini bukan satu-satunya kisah. Di ajang San Sebastin Gastronomika tahun 2019, yang menjadi perwakilan Indonesia justru dua orang asing. Salah satunya, Kevin Cherkas, chef asal Kanada, memperkenalkan sambal, kerupuk, hingga kluwek kepada dunia dengan cara yang mengesankan. Tidak hanya kompeten, tapi juga penuh cinta. Ia memperlakukan bahan-bahan itu bukan sebagai eksotisme Asia Tenggara, tapi sebagai harta karun yang layak dihormati.

Dari situ saya merenung: kenapa kita sering terlambat mengenali nilai dari apa yang kita punya, sampai orang lain menunjukkannya terlebih dahulu?

Ini bukan soal nasionalisme picik yang alergi terhadap orang asing. Justru sebaliknya, saya sangat menghargai siapa pun, tak peduli paspor atau warna kulit, yang dengan tulus menggali, mempelajari, dan mempromosikan kekayaan kuliner Indonesia. Tapi saya tak bisa menahan rasa getir ketika membayangkan generasi muda Indonesia yang mungkin lebih kenal kimchi daripada kluwek, lebih paham ramen daripada rawon, dan lebih sering bilang "comfort food" ketimbang "masakan rumahan."

Saya pernah menertawakan itu, hingga saya menjadi bagian darinya.

Ada satu masa dalam hidup saya ketika saya mulai menjaga jarak dari pete. Alasannya klise: baunya terlalu menyengat, terlalu kampung, terlalu tak pantas untuk meja makan yang ingin tampak modern. Saya menyisihkannya diam-diam saat hadir di piring, pura-pura lupa jika disodori. Saya merasa telah meninggalkan sesuatu, tapi tak tahu apa.

Hingga suatu hari, saya menyaksikan seorang perempuan makan pete dengan begitu lahapnya. Renatta, mertua dari bibi saya. Bukan karena lapar, bukan karena terpaksa. Tapi karena memang ia menikmatinya, seperti menikmati camilan kesukaan. Ia tidak peduli bau, tidak peduli stigma, tidak merasa perlu menjelaskan apa-apa. Dan di situ saya merasa terpukul. Ada sesuatu dalam cara beliau mengunyah pete yang terasa seperti proklamasi kecil. Seolah ia berkata: "Ini saya. Ini makanan saya. Dan saya tidak malu."

Di momen itulah saya merasakan sesuatu yang belum pernah saya rasakan saat melihat orang makan pete: rasa kehilangan.

Saya merasa telah mengkhianati dari diri saya sendiri. Mengkhianati memori, warisan, rasa. Saya merasa bersalah karena menganggap sesuatu yang menjadi bagian dari identitas saya sebagai sesuatu yang menjijikkan. Saya yang dulu membela budaya, ternyata pernah diam-diam menjadi penindas kecil terhadap budaya saya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun