Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wawancara di Era Emoji: Saat Bahasa Gen Z Tak Lagi Terjemahan Dunia Kerja

7 April 2025   14:01 Diperbarui: 7 April 2025   14:01 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Anna Shvets: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-masyarakat-rakyat-manusia-4226118/

"Coba ceritakan tentang diri kamu."

Pertanyaan klasik itu mungkin terdengar wajar bagi pewawancara, tapi bisa terasa membingungkan bagi sebagian anak muda masa kini. Tak sedikit dari mereka, yang tumbuh dalam ekosistem digital, akrab dengan ekspresi emoji, dan belajar merespons lewat kecepatan scroll, justru terdiam canggung di hadapan pertanyaan yang menurut generasi sebelumnya adalah "basa-basi standar."

Apa yang terjadi? Mengapa generasi yang dikenal paling kreatif, paling melek teknologi, dan paling cepat belajar justru kerap mengalami kesulitan saat sesi wawancara kerja?

Wawancara kerja sejatinya adalah panggung presentasi diri. Tapi panggung itu masih dibangun dengan format lama: ekspektasi tinggi terhadap narasi verbal, kemampuan beradaptasi sosial, dan pola komunikasi yang linear. Bagi banyak anak muda masa kini, format ini terasa seperti naskah lama yang mereka dipaksa perankan, dengan bahasa yang tidak mereka tulis, dan konteks yang tidak mereka pahami sepenuhnya.

Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan ekspresi visual, komunikasi singkat, dan intensitas interaksi digital. Maka ketika mereka diminta menjelaskan pencapaian atau rencana hidup dalam bentuk pidato mini lima menit, mereka sering kehilangan arah, bukan karena tak punya isi, tapi karena tak cocok dengan wadah.

Di sinilah perlu dikritisi: apakah format wawancara kerja masih relevan untuk mengukur kesiapan kerja generasi masa kini? Atau justru menjadi ruang bias, di mana kemampuan komunikasi tradisional lebih menentukan daripada potensi sejati?

Jika memang wawancara tradisional mulai kehilangan fungsinya, mungkinkah diganti dengan pendekatan yang lebih inklusif dan aplikatif? Misalnya:

  • Proyek simulasi atau studi kasus nyata.
  • Tugas mikro berbasis hasil, bukan retorika.
  • Ujian berbasis pemecahan masalah atau kemampuan adaptif.
  • Kolaborasi virtual dalam tim yang dinilai oleh peers.

Alternatif-alternatif ini lebih merefleksikan ekosistem kerja saat ini yang tidak lagi sekadar menilai siapa yang paling fasih bicara, tetapi siapa yang paling mampu belajar cepat, bekerja kolaboratif, dan berpikir adaptif.

Namun ada persoalan yang lebih mendasar: istilah "Gen Z" itu sendiri. Kita sering menyebut mereka begitu, seolah itu sudah mencerminkan seluruh wajah anak muda Indonesia hari ini. Padahal istilah itu adalah produk klasifikasi global yang didominasi perspektif Barat, berakar pada realitas sosial dan historis masyarakat Amerika dan Eropa. Ketika istilah itu diterapkan begitu saja ke Indonesia, kita sebenarnya sedang menyederhanakan kompleksitas generasi ini dalam kerangka budaya yang bukan milik mereka.

Anak-anak muda Indonesia tidak hanya hidup bersama internet dan TikTok. Mereka hidup dalam realitas pendidikan yang timpang, budaya kolektif yang kuat, nilai-nilai agama dan adat, serta tantangan ekonomi yang jauh dari ruang kerja Google atau Starbucks. Mereka tumbuh dalam kontradiksi yang tidak selalu bisa dipetakan dalam klasifikasi "Z".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun