Saya ingat betul, 13 Januari 2025, sebuah hari yang tidak istimewa di kalender nasional, tapi bagi saya, itu adalah hari ketika saya mengetuk pintu sunyi dengan membawa segenggam pikiran yang tak tahu harus dikemanakan. Saya mulai menulis di Kompasiana bukan karena merasa istimewa, apalagi karena ingin dikenal. Saya menulis karena kesepian. Karena di tempat saya berada saat itu, pikiran datang silih berganti, sementara teman bicara tak kunjung hadir.
Tulisan pertama saya sederhana. Bahkan mungkin terlalu sederhana untuk dianggap sebagai "artikel." Tapi saat itu, rasanya seperti membuka jendela di kamar yang lama terkunci. Saya bisa bernapas, dan saya bisa melihat keluar. Di balik layar laptop, saya merasa didengar, meski tanpa suara.
Waktu berjalan cepat, atau mungkin saya yang terlalu larut dalam menulis. Hari ini, 6 April 2025, saya memandangi profil saya di Kompasiana dan melihat tanda centang biru tersemat di sana. Saya hitung kembali: 233 artikel, 111 di antaranya menjadi highlight, dan 20 pernah naik ke etalase utama sebagai headline. Angka-angka itu tampak seperti pencapaian, tapi bagi saya, ia lebih menyerupai pengingat. Bahwa saya pernah duduk berlama-lama di malam-malam hening, mengetikkan kata-kata dengan penuh keraguan dan harapan yang samar.
Namun tak semuanya berjalan mulus. Di pertengahan jalan, saya sempat goyah. Ada masa ketika highlight tak kunjung datang, headline seperti menjauh. Saat itu, saya mulai bertanya: apakah tulisan saya memburuk? Apakah ada yang berubah dari cara saya merangkai diksi atau menyusun narasi? Saya protes, kadang dalam tulisan, kadang dalam kolom komentar atau dalam WA group. Tapi tak ada jawaban. Seperti menulis di tebing, hanya gema yang kembali.
Saya sempat ingin berhenti. Tapi Ambu, yang sejak awal membaca setiap tulisan saya, menyemangati dengan sederhana:Â
"Tulis saja, Bah. Biar pikiranmu tenang."Â
Dan entah bagaimana, kalimat itu lebih kuat dari pujian mana pun. Ia menjadi jangkar saat ombak kecewa mengguncang.
Di rumah, anak-anak mulai penasaran. Mereka sering mendengar kata "headline" dan "highlight" saat saya berbincang dengan Ambu. Suatu kali, anak saya bertanya, "bah sekarang kerja jadi wartawan, ya?" Saya tertawa, lalu terdiam. Di satu sisi, saya ingin membetulkan. Tapi di sisi lain, saya sadar: mungkin memang ada bagian dari saya yang sedang mencari makna baru dari pekerjaan, dari peran, dari eksistensi.
Menulis di Kompasiana telah menjadi lebih dari sekadar aktivitas. Ia menjadi ruang sunyi tempat saya menyusun ulang serpihan-serpihan pikiran. Saya belajar bahwa apresiasi itu manis, tapi yang lebih penting adalah kejujuran. Tulisan yang lahir dari kejujuran, betapa pun sederhananya, akan selalu menemukan jalannya sendiri.
Status centang biru ini bukan puncak, bukan pula selebrasi. Ini adalah pengingat. Bahwa ada tanggung jawab untuk tetap menghadirkan tulisan yang jujur, yang setidaknya berusaha menyentuh. Saya tak selalu berhasil. Kadang yang keluar hanya celotehan yang terasa remeh. Tapi saya akan tetap menulis. Karena di antara tulisan-tulisan itu, ada bagian dari diri saya yang terus ingin dimengerti.