Tak ada yang lebih simbolik dari kata "pulang" selain saat Lebaran. Pulang ke rumah, ke pangkuan ibu, ke keramaian yang akrab sekaligus melelahkan. Lebaran menjelma semacam panggung sosial tahunan, di mana peran-peran lama kembali dimainkan, topik lama kembali diungkit, dan energi sosial diuji habis-habisan.Â
Di tengah gemerlap ketupat, senyum di bibir, dan salam di tangan, ada yang bersinar penuh semangat, tapi ada juga yang diam-diam menguap di sudut ruang tamu, menanti waktu lengser dari sandiwara kekeluargaan.
Sosiologi mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, tetapi tidak semua manusia ingin atau mampu menjadi makhluk sosial dalam kapasitas yang sama.Â
Ada yang bertenaga seperti matahari, menjadi "booster" bagi suasana kumpul keluarga: cerewet menyapa, senang bercanda, dan sibuk memfasilitasi percakapan. Tapi ada juga yang seperti lilin kecil: menyala sebentar, lalu butuh waktu sendiri untuk tidak padam. Mereka inilah yang sering disebut si introver, atau oleh para ahli psikologi, mereka yang "social battery"-nya cepat habis.
Dalam perspektif psikologi, konsep "social energy" menjadi penting untuk memahami bagaimana individu mengelola interaksi sosial. Teori energi sosial menjelaskan bahwa setiap interaksi membutuhkan "baterai emosi", dan kapasitas itu tidak sama pada tiap orang.Â
Seorang ekstrover akan merasa semakin hidup dalam keramaian, sedangkan seorang introver justru merasa terkuras, walau dalam suasana yang penuh cinta.Â
Ini bukan soal tak sayang pada keluarga, tetapi lebih soal kapasitas menerima stimulasi sosial dalam durasi tertentu. Seseorang bisa sangat rindu pada sepupu, tapi tetap merasa lelah mendengarkan percakapan panjang tentang hal-hal yang sudah tak relevan dengan dirinya.
Antropologi memberi kita kacamata lain. Tradisi mudik dan kumpul keluarga dalam Lebaran adalah ritual sosial yang melekat kuat dalam struktur masyarakat Indonesia. Ia menjadi ajang pembaruan ikatan sosial dan simbolisasi hierarki keluarga.Â
Kita kembali ke rumah bukan hanya untuk makan bersama, tapi juga untuk memperbarui posisi dalam jejaring sosial yang kompleks: siapa yang sekarang sudah menikah, siapa yang belum kerja, siapa yang anaknya sudah hafal juz 30.Â
Percakapan-percakapan ini bukan sekadar basa-basi, tetapi sering kali sarat makna simbolik. Dalam banyak kasus, ia menjadi semacam "arena" di mana identitas dinegosiasikan ulang.