Pada tanggal 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif impor baru sebagai bagian dari strategi "Reciprocal Tariffs." Langkah ini menaikkan tarif terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia, yang kini menghadapi tarif sebesar 32% untuk barang-barang yang masuk ke pasar AS.Â
Kebijakan ini merupakan bentuk proteksionisme dengan dalih mengurangi defisit perdagangan dan melindungi industri dalam negeri Amerika. Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia cukup signifikan, mengingat AS adalah salah satu mitra dagang utama dengan kontribusi besar terhadap ekspor nasional.
Kenaikan tarif impor ini tidak datang secara tiba-tiba. Sejak Februari 2025, Trump telah menandatangani memorandum presiden untuk meninjau kembali kebijakan tarif AS sebagai respons terhadap praktik dagang yang dianggap tidak adil.Â
Kebijakan serupa di masa lalu telah terbukti membawa dampak negatif terhadap ekonomi AS sendiri, termasuk penurunan PDB jangka panjang dan hilangnya ratusan ribu pekerjaan. Namun, dengan pendekatan "America First," kebijakan proteksionisme ini tetap diterapkan tanpa mempertimbangkan potensi efek domino ke negara mitra dagang.
Pengenaan tarif 32% terhadap Indonesia berpotensi menekan ekspor berbagai sektor utama, termasuk tekstil, alas kaki, elektronik, dan produk agrikultur. Dengan meningkatnya harga barang asal Indonesia di pasar AS, daya saing produk nasional menurun, dan permintaan berpotensi merosot. Hal ini berisiko mengganggu neraca perdagangan yang selama ini mencatatkan surplus dengan AS. Jika ekspor melemah, cadangan devisa berkurang, nilai tukar Rupiah bisa mengalami tekanan, dan sentimen negatif di pasar keuangan dapat berdampak pada pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Selain itu, ada risiko lain yang perlu diantisipasi, yaitu masuknya barang impor murah dari China yang terkena tarif tinggi di AS. Produsen China yang kehilangan akses ke pasar Amerika bisa mengalihkan ekspor mereka ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Hal ini berpotensi membanjiri pasar domestik dengan produk-produk berharga lebih rendah, yang dapat mengancam industri manufaktur dalam negeri. Tanpa perlindungan yang memadai, industri lokal bisa kesulitan bersaing, menyebabkan penurunan produksi dan bahkan PHK massal di beberapa sektor.
Untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah dan pelaku usaha perlu merumuskan strategi yang tepat guna menjaga stabilitas ekonomi nasional. Salah satu langkah utama adalah diversifikasi pasar ekspor. Indonesia perlu memperkuat kerja sama perdagangan dengan negara-negara lain, khususnya di kawasan Asia, Timur Tengah, dan Afrika, yang menunjukkan potensi pertumbuhan permintaan yang tinggi. Mempercepat perundingan perjanjian perdagangan bebas dengan mitra dagang baru dapat membantu membuka akses pasar yang lebih luas bagi produk Indonesia.
Selain itu, penguatan industri dalam negeri harus menjadi prioritas. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi industri manufaktur untuk meningkatkan daya saing melalui inovasi dan efisiensi produksi. Pemberian subsidi atau insentif pajak bagi pelaku usaha yang mengembangkan produk lokal berkualitas tinggi dapat menjadi stimulus yang efektif. Di sisi lain, pembatasan impor barang yang tidak strategis dapat membantu melindungi sektor produksi dalam negeri dari gempuran barang asing yang lebih murah.
Kampanye nasional untuk meningkatkan konsumsi produk dalam negeri juga perlu digalakkan. Dengan mengajak masyarakat lebih memilih produk lokal, permintaan terhadap barang buatan Indonesia bisa tetap stabil meskipun ekspor menghadapi kendala. Sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen sangat diperlukan agar kebijakan ini berjalan efektif.
Dari sisi diplomasi ekonomi, pemerintah perlu segera menjajaki opsi negosiasi dengan AS guna mencari solusi yang lebih adil bagi kedua negara. Langkah ini bisa dilakukan melalui jalur bilateral maupun forum internasional seperti WTO. Jika negosiasi berjalan efektif, ada kemungkinan untuk mendapatkan keringanan tarif atau bahkan pengecualian bagi beberapa sektor strategis.