Ketika pasar modal bergejolak, mereka yang punya pilihan segera mencari pintu keluar. Sementara itu, kita yang tak punya jalan lain hanya bisa menatap layar, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Kali ini, IHSG jatuh lagi. Bukan yang pertama, mungkin juga bukan yang terakhir. Tapi pertanyaannya tetap sama: apa yang salah, dan siapa yang akan menanggung akibatnya?
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) adalah barometer utama kinerja pasar modal Indonesia. Ia mencerminkan pergerakan harga saham dari perusahaan-perusahaan terbesar yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Ketika IHSG naik, optimisme menguat, investasi berkembang, dan ekonomi cenderung bergerak maju. Sebaliknya, ketika ia terjun bebas, seperti yang terjadi di Maret 2025, kita tak bisa menutup mata terhadap gelombang ketidakpastian yang menyapu pasar dan, lebih luas lagi, ekonomi nasional.
Di tengah riuhnya berita tentang IHSG yang anjlok 8.41% dalam sebulan, dengan penurunan harian mencapai 7.1% pada 18 Maret, kita melihat fenomena yang kian sering terjadi: investor melarikan diri.
Mereka, yang dulu membanjiri pasar dengan dana segar, kini menarik diri secepat kilat. Dana asing menguap, harga saham ambruk, dan sentimen pasar jatuh ke titik nadir. Yang tertinggal adalah kita, rakyat biasa, yang hanya bisa menyaksikan kekacauan ini dari kejauhan, bertanya-tanya apakah kita juga harus bersiap mencari jalan keluar, jika saja kita punya pilihan.
Dugaan penyebab penurunan IHSG kali ini berkisar pada isu ketidakpastian fiskal. Rumor pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambah kepanikan pasar, seolah menjadi sinyal bahwa stabilitas ekonomi sedang goyah.
Seorang menteri keuangan bukan hanya pengelola kas negara; ia adalah wajah kepercayaan di mata investor. Ketika kepercayaan itu terguncang, pasar bereaksi liar.
Apalagi, sektor perbankan yang menjadi tulang punggung IHSG juga mengalami tekanan besar. Bank Rakyat Indonesia dan Bank Mandiri masing-masing jatuh lebih dari 30% sepanjang tahun, menandakan lemahnya daya tahan sektor keuangan kita di tengah badai ketidakpastian.
Lebih dalam lagi, kondisi makroekonomi juga memperburuk situasi. Inflasi yang rendah, bahkan sempat mencatat deflasi -0.09% di Februari, bukanlah kabar baik. Ia menandakan lemahnya daya beli masyarakat, yang dalam jangka panjang bisa memicu perlambatan ekonomi.
Sementara itu, suku bunga yang masih bertahan di 5.75% menambah beban bagi dunia usaha. Pinjaman mahal, investasi menurun, dan roda ekonomi melambat.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!