Di tengah peradaban yang terus berkembang, ada satu pertempuran yang terjadi setiap sore selama bulan Ramadhan. Sebuah perang tanpa darah, tapi penuh strategi. Sebuah pertempuran yang melibatkan naluri bertahan hidup, ketangkasan, dan sedikit keberuntungan. Inilah perang takjil, di mana medan tempur utamanya adalah pasar-pasar dadakan yang menjamur menjelang Maghrib.
Seperti Mao Zedong yang merancang strategi "desa mengepung kota," para veteran takjil tahu bahwa jika mereka datang terlambat, harapan untuk mendapatkan kolak pisang atau es buah favorit akan pupus. Mereka paham bahwa penguasaan medan adalah segalanya. Maka, strategi pertama dalam perang takjil adalah menguasai lokasi sebelum musuh datang. Seperti tentara revolusioner yang bersembunyi di hutan-hutan Tiongkok sebelum menyerang kota-kota besar, para pemburu takjil sejati datang lebih awal, mengamati gerak-gerik penjual, dan menentukan jalur terbaik untuk menyerbu stand yang paling strategis.
Namun, taktik gerilya tak hanya dimiliki oleh para veteran. Ada juga pasukan dadakan, mereka yang sekadar ingin menikmati hidangan khas Ramadhan tapi tidak menyadari bahwa mereka telah masuk ke dalam pusaran pertempuran. Mereka datang dengan santai, seperti tentara yang baru saja direkrut tanpa pengalaman tempur. Mereka berpikir bahwa takjil akan selalu tersedia, padahal ketika mereka tiba di garis depan, yang tersisa hanyalah remah-remah risoles dan es kelapa yang sudah tidak dingin.
Di sisi lain, ada mereka yang menerapkan strategi "shock and awe" ala militer modern. Mereka tidak main-main. Mereka datang dengan bala bantuan, entah itu pasangan, anak, atau bahkan tetangga, untuk menyebar ke berbagai penjuru pasar, seperti pasukan Blitzkrieg Jerman yang menyerbu dari berbagai arah. Dengan dompet tebal dan niat kuat, mereka memborong dalam jumlah besar, membuat pasukan lain hanya bisa menatap nanar ketika mendapati bahwa panci besar berisi bubur sumsum sudah tandas dalam hitungan menit.
Tentu saja, tak semua bisa mengandalkan serangan frontal. Beberapa memilih taktik defensif ala Vo Nguyen Giap, sang jenderal Vietnam yang berhasil mengalahkan Amerika Serikat dengan strategi perang berkepanjangan. Mereka yang memakai metode ini tahu bahwa bertarung dalam antrian panjang adalah hal yang melelahkan. Maka, mereka mencari cara lain: memesan dari jauh, mengenal penjual secara personal, atau bahkan membuat persekutuan rahasia dengan orang dalam. Ketika pembeli lain masih berkutat dalam antrian, mereka datang dengan santai dan mengambil pesanan yang sudah disiapkan, seolah-olah seorang jenderal yang baru saja menerima laporan kemenangan tanpa harus turun ke medan perang.
Namun, sebagaimana dalam setiap pertempuran, selalu ada yang kalah. Mereka yang datang dengan strategi buruk, tanpa rencana cadangan, atau terlalu percaya diri bahwa takjil akan tersedia hingga detik terakhir. Mereka ini ibarat pasukan Napoleon yang terlambat menyadari bahwa musim dingin Rusia bukanlah lawan yang bisa diremehkan. Mereka harus pulang dengan tangan kosong, hanya bisa menelan ludah melihat orang lain menenteng kantong plastik berisi gorengan dan es cendol yang tampak begitu menggoda.
Di akhir hari, perang takjil bukan hanya soal siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ada sesuatu yang lebih besar di baliknya. Ada semangat kebersamaan, ada canda tawa di antara antrean, ada rasa syukur ketika akhirnya bisa duduk bersama keluarga dan berbuka dengan makanan yang berhasil diperjuangkan. Perang ini mengajarkan kita tentang strategi, tentang keberuntungan, dan yang terpenting, tentang bagaimana berbagi menjadi kemenangan yang sesungguhnya.
Jadi, jika esok hari kau kembali ke medan perang ini, ingatlah satu hal: lebih baik datang lebih awal, atau setidaknya, kenali penjual dengan baik. Karena dalam perang takjil, seperti dalam sejarah peperangan, yang menang bukanlah yang terkuat, melainkan yang paling cerdik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI