Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ramadhan, Riya, dan Realitas Media Sosial

3 Maret 2025   16:17 Diperbarui: 4 Maret 2025   11:19 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Ersan Yilmaz: https://www.pexels.com/id-id/foto/29870207/ 

Sore hari di bulan Ramadhan, aku melihat seseorang melakukan siaran langsung tarawih di media sosial. Layar ponsel menampilkan saf jemaah yang khusyuk, suara imam mengalun merdu, sementara ribuan orang menonton dan memberikan komentar. Media sosial penuh dengan unggahan serupa: orang-orang berbuka dengan sajian mewah, rekaman suara orang mengaji, dan foto seseorang tengah berdoa dengan caption menyentuh. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal. Sejak kapan ibadah yang seharusnya sakral berubah menjadi konten untuk dikonsumsi?

Di masa kecilku, Ramadhan adalah tentang keheningan yang mendekatkan kita pada Tuhan. Suara ibu yang membangunkan sahur dengan penuh kasih, lantunan ayat suci yang mengalun dari surau, serta doa-doa yang dipanjatkan dalam keheningan. Tidak ada kamera, tidak ada penonton. Hanya ada hubungan pribadi antara manusia dan penciptanya.

Sekarang, semuanya terasa berbeda. Orang-orang merekam setiap momen ibadah mereka, mengunggahnya dengan harapan mendapatkan apresiasi. Ada yang berdoa sambil menangis, ada yang bersedekah dengan amplop tebal dan memastikan kamera menangkapnya dari sudut terbaik. Sejak kapan ibadah menjadi ajang pamer? Bukankah seharusnya hubungan dengan Tuhan itu sesuatu yang personal, bukan sesuatu yang harus diumumkan ke dunia?

Aku pernah mencoba memahami fenomena ini. Apakah orang-orang ini benar-benar ingin berbagi kebaikan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam, keinginan untuk diakui, untuk dianggap saleh? Mungkin mereka tidak sadar sedang terjebak dalam dorongan ingin terlihat baik. Sebuah dorongan yang bisa datang secara halus, tanpa disadari, seperti semut hitam yang merayap di batu gelap di tengah malam.

Tapi aku tidak ingin menghakimi. Siapa aku untuk menilai niat seseorang? 

Mungkin bagi mereka, berbagi momen ibadah adalah cara untuk menginspirasi. Mungkin juga, ini sekadar kebiasaan di era digital, di mana segala sesuatu harus terdokumentasi agar dianggap nyata.

Namun, aku tidak bisa menampik kegelisahan ini. Ramadhan adalah waktu untuk refleksi, untuk kembali ke inti spiritualitas. Jika ibadah berubah menjadi tontonan, di mana letak ketulusannya? Jika kita berbuat baik dengan harapan mendapat pujian, apakah masih disebut kebaikan?

Aku teringat pada kisah seorang lelaki yang memberi sedekah di malam hari, dalam kegelapan, agar tidak seorang pun tahu. Ia ingin perbuatannya hanya diketahui oleh Tuhan. Sebuah tindakan yang begitu murni, jauh dari riuhnya dunia. Kisah itu terasa seperti dongeng di zaman sekarang, di mana kebaikan harus divalidasi dengan like dan komentar.

Mungkin ini saatnya bertanya pada diri sendiri sebelum mengunggah sesuatu: apakah ini untuk Tuhan, atau untuk orang lain? Jika Ramadhan adalah tentang mendekatkan diri pada-Nya, apakah kita benar-benar melakukannya, atau justru semakin sibuk memastikan orang lain tahu bahwa kita melakukannya?

Ramadhan bukan tentang seberapa banyak orang yang melihat ibadah kita, tetapi tentang seberapa dalam kita merasakannya. Mungkin, dalam keheningan dan kesederhanaan, kita justru menemukan hubungan yang lebih tulus dengan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun