Dalam dunia yang dipenuhi oleh suara-suara yang sering kali dikalkulasi, ada momen langka ketika kejujuran berbicara tanpa perlu meninggikan volume. Itulah yang terjadi dalam wawancara Ferry Irwandi bersama Rossy. Tak ada drama berlebihan, tak ada gestur teatrikal, hanya getaran yang merayapi ruang di antara mereka, dan saya, yang menyaksikannya dari layar, merasa ikut terdampak.
Rossy, yang terbiasa menggali kedalaman narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan tajamnya, kali ini terdiam lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu dalam suara Ferry yang bukan hanya didengar, tetapi juga dirasakan.Â
Kejujurannya bukan sekadar kata-kata yang keluar dari mulut, melainkan energi yang menyelinap tanpa diundang, menggetarkan ruang batin siapa pun yang mendengarnya. Itu bukan sekadar komunikasi, melainkan resonansi.
Kejujuran memang memiliki frekuensinya sendiri. Ia tidak selalu hadir dalam bentuk yang lantang atau retoris, tetapi justru dalam kesederhanaan dan keterusterangan yang apa adanya.Â
Tidak dibuat-buat, tidak berusaha menyenangkan siapa pun, tidak mencari tepuk tangan. Hanya ada satu niat: menyampaikan yang sesungguhnya.
Mungkin ini yang membuat kita, sebagai manusia, begitu peka terhadap ketulusan. Kita telah terlalu sering mendengar kata-kata yang diatur, narasi yang dikemas, sehingga ketika seseorang berbicara dengan ketulusan yang mentah, kita langsung tahu.Â
Bukan hanya tahu, kita merasakannya. Getaran itu begitu nyata, seperti bunyi petikan gitar yang murni sebelum suara efek dan amplifikasi ikut campur.
Banyak orang berbicara dengan tujuan membentuk citra. Mereka tahu kata-kata apa yang ingin didengar publik, tahu bagaimana memainkan ekspresi yang tepat, tahu kapan harus berhenti untuk menciptakan efek dramatis.Â
Tetapi Ferry tidak bermain dalam pola itu. Tidak ada skrip yang dijalankan, tidak ada kalkulasi yang disisipkan di antara jeda kata-katanya. Yang ada hanyalah seseorang yang berbicara karena ia memang memiliki sesuatu untuk dikatakan.