Setiap pagi, gedung-gedung pemerintahan dipenuhi dengan rutinitas yang terstruktur. Orang-orang berlalu-lalang dengan setelan dinas, rapat demi rapat digelar, dan kebijakan-kebijakan dirancang di balik meja-meja pimpinan. Tapi di antara semua itu, ada sosok-sosok yang nyaris tak pernah disebut, mereka yang berada di kasta paling bawah dalam hierarki birokrasi. Mereka bukan pejabat, bukan pemimpin, hanya Umbies, birokrat muda yang bekerja tanpa pamrih, sering kali tanpa penghargaan.
Ketika pejabat eselon berkata, "Bisa selesai hari ini, kan?" kepala kelompok kerja segera menjawab, "Siap!" dengan penuh optimisme. Tapi Umbies? Mereka hanya diam, menatap layar komputer dengan pandangan kosong, menyadari bahwa pekerjaan itu akan menjadi beban mereka sendiri. Lembur bukan pilihan, melainkan keharusan. Penghargaan bukan tujuan, hanya sekadar bertahan dengan waras sudah cukup.
Mereka tak banyak bicara, tapi pekerjaan mereka berbicara sendiri. Tiba-tiba ada disposisi yang melenceng dari tugas dan fungsi. Laptop tetap menyala meski sedang cuti. Uang perjalanan dinas harus ditanggung lebih dulu. Mereka adalah garda terdepan dari administrasi yang tertib, tetapi sekaligus lapisan pertama yang menerima dampak dari kebijakan yang tak selalu berpihak pada mereka.
Mereka pernah berambisi besar. Dulu, saat pertama kali masuk sebagai ASN, ada semangat untuk berkontribusi. Ada mimpi untuk membawa perubahan. Namun, sistem birokrasi adalah labirin yang sering kali mematahkan semangat. Mereka menghafal frasa "Siap, Pak/Bu" bukan karena patuh buta, tapi karena tahu bahwa membantah hanya akan memperpanjang drama yang tak perlu.
Dalam teori sosiologi organisasi, ada lapisan-lapisan kekuasaan yang membentuk birokrasi. Di puncaknya, pengambil kebijakan menetapkan arah. Di tengahnya, pelaksana mengoordinasikan. Dan di dasarnya, ada mereka yang bekerja tanpa banyak suara, memastikan semua berjalan sebagaimana mestinya. Umbies adalah dasar yang menyangga semua itu, meski jarang mendapat pengakuan.
Mereka adalah wujud cognitive dissonance dalam birokrasi, ketika idealisme bertabrakan dengan kenyataan. Ketika ingin memberontak, tetapi harus tetap bertahan. Ketika tahu ada yang salah, tetapi tak punya kuasa untuk mengubahnya. Loyalitas mereka diuji dengan mutasi mendadak, promosi yang sering kali tak berpihak, serta ekspektasi tanpa batas dari atasan. Namun, mereka tetap bekerja, bukan semata karena takut, melainkan karena tanggung jawab. Tanggung jawab terhadap pekerjaan yang jika mereka tinggalkan, akan berantakan.
Banyak yang akhirnya memilih pergi. Resign, mencari jalan lain di luar birokrasi. Namun, banyak juga yang tetap bertahan, bukan karena tak punya pilihan, tetapi karena masih percaya bahwa perubahan tak harus datang dari atas. Mungkin mereka bukan pengambil kebijakan, tetapi dalam setiap laporan yang mereka susun, setiap dokumen yang mereka siapkan, ada jejak perjuangan yang sering kali tak terlihat.
Maka, saat melihat seorang birokrat muda berkata "Siap, Pak/Bu" dengan nada yang nyaris tanpa emosi, jangan buru-buru menghakimi. Bisa jadi, itu adalah bentuk profesionalisme yang terpaksa. Bisa jadi, itu adalah cara terakhir untuk tetap bertahan dalam sistem yang tidak selalu berpihak. Tapi selama mereka masih ada, selama mereka masih bekerja dalam diam, birokrasi ini akan tetap berjalan.
Umbies mungkin tak terkenal, tapi tanpa mereka, sistem bisa runtuh. Jadi, inilah sebuah tribute untuk mereka, pejuang senyap yang menjaga roda birokrasi tetap berputar, "noted, pak".