#KaburAjaDulu, Ketika Mimpi Lebih Jauh dari Tanah Air Sendiri

Langit selalu terlihat lebih luas ketika seseorang berdiri di ambang keputusan besar. Di media sosial, sebuah tagar sederhana kini menjadi gema dari pertanyaan yang jauh lebih kompleks: Apakah di tempat lain, hidup bisa lebih baik? #KaburAjaDulu, yang awalnya muncul sebagai candaan, kini menjelma menjadi ungkapan kolektif dari mereka yang merasa harapan di tanah kelahiran kian menipis.

Di sudut-sudut kafe kota besar, di kamar kos yang disesaki impian dan keresahan, atau dalam obrolan panjang di grup WhatsApp alumni, percakapan tentang "kabur" bukan lagi sekadar lelucon. 

"Kayaknya ke Jepang lebih menjanjikan, ya?" 

"Gaji di Singapura segitu cukup buat nabung dan tetap hidup nyaman." 

"Di Jerman, tenaga kerja dihargai, bukan dieksploitasi." 

Kalimat-kalimat seperti ini semakin sering terdengar, bukan hanya dari satu dua orang, tetapi dari begitu banyak suara yang merasa bahwa masa depan mungkin lebih nyata jika ditempuh di luar garis batas negara.

Keinginan untuk pergi bukanlah sekadar dorongan impulsif. Ini adalah akumulasi dari berbagai kekecewaan yang tumbuh dari hari ke hari. Sulitnya mencari pekerjaan yang layak, gaji yang stagnan, harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik, hingga kebijakan yang dirasa lebih banyak menguntungkan segelintir orang. Di tengah upaya membangun hidup, generasi muda dihadapkan pada realitas yang tidak selalu berpihak pada mereka.

Namun, lebih dari sekadar masalah ekonomi, ada keresahan yang lebih dalam, ketidakpastian. Banyak dari mereka merasa bahwa sistem di negeri ini lebih sering menghambat daripada mendukung. 

Meritokrasi sering kali kalah oleh nepotisme, kerja keras tidak selalu berbuah pengakuan, dan suara kritis kerap dibungkam dengan berbagai cara. Mereka yang memiliki mimpi besar mulai bertanya, "Untuk apa bertahan di tempat yang tidak memberi ruang untuk berkembang?"

Lalu, muncullah opsi yang terasa lebih menjanjikan: pergi. Tidak harus selamanya, tapi setidaknya untuk sementara. Berbekal beasiswa, kontrak kerja, atau bahkan hanya tiket sekali jalan, mereka mulai menyusun rencana.