Indonesia dan Jepang berdiri di dua ujung spektrum ekonomi yang berbeda. Jepang, dengan populasi yang menua dan ekonomi yang stagnan, terus berjuang mempertahankan stabilitasnya. Sebaliknya, Indonesia menikmati bonus demografi, sebuah peluang yang dalam teori bisa mendorong pertumbuhan pesat. Namun, perbedaan ini justru menyoroti kontras yang mencolok antara kedua negara: Jepang tetap bertahan meskipun melanggar banyak aturan ekonomi konvensional, sementara Indonesia menghadapi tantangan besar meskipun memiliki modal demografi yang menguntungkan.
Jika Jepang mengalami "kelebihan umur" dengan hampir 30% populasinya berusia di atas 65 tahun, Indonesia justru memiliki lebih dari 70% penduduknya dalam usia produktif. Idealnya, kondisi ini akan menciptakan lonjakan produktivitas, peningkatan daya beli, dan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kualitas sumber daya manusia Indonesia cukup untuk mengubah potensi ini menjadi kenyataan?
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia memang menunjukkan tren meningkat dari tahun ke tahun, tetapi pertumbuhannya melambat. Data terbaru menunjukkan bahwa skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia masih tertinggal jauh di belakang negara-negara maju, termasuk Jepang. Siswa Indonesia memiliki tingkat literasi dan kemampuan matematika yang lebih rendah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jepang. Ini menjadi alarm bagi bonus demografi yang kita banggakan: tanpa pendidikan yang kuat, kelebihan jumlah tenaga kerja hanya akan melahirkan pengangguran terdidik, bukan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Jepang memiliki sektor industri yang matang dan berbasis teknologi tinggi, yang memungkinkan mereka tetap relevan di panggung global meskipun populasinya menurun. Sebaliknya, Indonesia masih bergantung pada sektor berbasis sumber daya alam dan manufaktur padat karya. Ketika Jepang menggunakan robot dan AI untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, Indonesia justru harus menghadapi tantangan tingginya angka pengangguran di kalangan anak muda.
Dari sisi utang, Indonesia sebenarnya relatif lebih terkendali dibandingkan Jepang. Jepang memiliki rasio utang terhadap PDB yang mencapai lebih dari 250%, sedangkan Indonesia masih di kisaran 39,20%, jauh di bawah batas 60% yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Namun, struktur utang kedua negara juga berbeda. Sebagian besar utang Jepang dimiliki oleh institusi domestik, seperti bank dan dana pensiun nasional. Ini membuat Jepang lebih kebal terhadap tekanan eksternal. Indonesia juga telah berusaha mengadopsi strategi serupa dengan menerbitkan lebih banyak Surat Berharga Negara (SBN) dalam negeri, sehingga mengurangi ketergantungan pada kredit luar negeri. Namun, beban bunga utang dalam negeri cenderung lebih tinggi dibandingkan pinjaman luar negeri, sehingga tetap memerlukan strategi pengelolaan yang hati-hati.
Salah satu tantangan terbesar bagi Indonesia adalah pengaruh media dan pola konsumsi informasi masyarakat. Jepang memiliki ekosistem media yang relatif lebih terkendali, dengan konten yang banyak berfokus pada inovasi dan budaya kerja keras. Sementara itu, Indonesia menghadapi arus informasi yang seringkali lebih banyak menghibur daripada mendidik. Media sosial mendominasi konsumsi informasi masyarakat, tetapi literasi digital masih rendah. Akibatnya, banyak generasi muda yang lebih akrab dengan tren viral daripada konsep ekonomi dan kewirausahaan.
Di tengah segala perbedaannya, satu hal yang dapat dipelajari Indonesia dari Jepang adalah ketahanan ekonomi yang bertumpu pada kualitas sumber daya manusia dan inovasi teknologi. Jepang mungkin telah kehilangan momentum pertumbuhan tinggi, tetapi mereka tetap mempertahankan stabilitas ekonomi dan daya saing global. Indonesia memiliki peluang untuk tumbuh lebih cepat, tetapi hal itu hanya dapat terwujud jika kualitas pendidikan ditingkatkan, kebijakan industri diarahkan pada penciptaan nilai tambah, serta pengelolaan utang dilakukan dengan cermat. Selain itu, reformasi birokrasi yang mendorong efisiensi dan transparansi, penguatan infrastruktur fisik maupun digital, serta kebijakan investasi yang lebih strategis dan berorientasi jangka panjang juga menjadi faktor krusial. Tanpa perbaikan di sektor-sektor tersebut, bonus demografi dan sumber daya yang melimpah hanya akan menjadi potensi yang tidak tergarap secara maksimal.
Saat ini, kita berada di persimpangan jalan: apakah bonus demografi akan menjadi berkah yang membawa Indonesia menuju era keemasan, atau justru menjadi beban yang memperlambat langkah kita? Jawabannya bergantung pada bagaimana kita membangun kualitas sumber daya manusia dan memanfaatkan momentum yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI