Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pers di Persimpangan Jalan: Antara Kebenaran, Kuasa, dan Kepercayaan Publik

9 Februari 2025   22:30 Diperbarui: 9 Februari 2025   22:23 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://islamic-center.or.id/agar-demokrasi-lebih-sehat-begini-seharusnya-peran-pers/

Tanggal 9 Februari selalu menjadi momentum refleksi bagi insan pers di Indonesia. Hari Pers Nasional bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan juga ajang perenungan tentang peran media dalam membentuk opini publik, menjaga demokrasi, dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Di era digital yang penuh dengan disrupsi informasi, pertanyaan yang terus mengemuka adalah: masihkah pers menjadi penunjuk arah bagi kebenaran, atau justru kerap terseret dalam arus kepentingan politik dan ekonomi?

Di masa lalu, pers memiliki peran sentral dalam perjuangan bangsa. Ia menjadi corong aspirasi rakyat, penantang kebijakan yang merugikan, serta pengawal demokrasi yang tak kenal lelah. Reformasi 1998 menjadi titik balik bagi kebebasan pers di Indonesia, menandai berakhirnya kontrol ketat pemerintah atas informasi. Media tumbuh subur, membawa keberagaman suara yang sebelumnya dibungkam. Namun, setelah lebih dari dua dekade reformasi, lanskap media justru dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks dan paradoksal.

Salah satu ancaman terbesar yang dihadapi pers saat ini adalah bias kepentingan. Media tidak lagi hanya bertugas menyampaikan fakta, tetapi juga menjadi alat politik dan ekonomi bagi segelintir pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Konglomerasi media semakin mempersempit independensi ruang redaksi, sementara tekanan dari pengiklan dan pemilik modal membayangi kebebasan jurnalisme investigatif. Konsekuensinya, publik tidak lagi sepenuhnya percaya pada berita yang tersaji. Munculnya istilah "post-truth society" menandakan bahwa kepercayaan terhadap institusi-institusi kebenaran, termasuk media, tengah mengalami erosi.

Media digital membawa dampak ganda. Di satu sisi, ia membuka akses informasi yang lebih luas, mendobrak monopoli narasi dari media arus utama. Namun di sisi lain, kemudahan akses ini juga melahirkan tsunami informasi yang sering kali sulit diverifikasi kebenarannya. Berita palsu menyebar lebih cepat daripada fakta, diperparah oleh algoritma media sosial yang lebih mengutamakan sensasi dibanding substansi. Dalam lanskap semacam ini, tugas pers menjadi semakin berat: bagaimana tetap relevan, kredibel, dan dipercaya di tengah gempuran disinformasi?

Kepercayaan publik menjadi elemen yang semakin rapuh. Tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa media justru memperkeruh keadaan ketimbang memberikan pencerahan. Sensasionalisme, framing yang berat sebelah, dan penyebaran hoaks oleh oknum jurnalis memperdalam jurang ketidakpercayaan ini. Ketika media gagal menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat, maka polarisasi sosial semakin menguat. Kita menyaksikan bagaimana pers terkadang menjadi alat propaganda, bukan lagi pilar demokrasi.

Dalam konteks politik, pers kerap menjadi medan pertempuran opini. Siklus pemilu, baik di tingkat nasional maupun lokal, selalu membawa tantangan tersendiri bagi independensi jurnalisme. Alih-alih menjadi pengawas kekuasaan, sebagian media malah terjebak dalam peran sebagai kendaraan politik untuk kandidat tertentu. Fenomena ini bukan hanya merugikan kredibilitas media itu sendiri, tetapi juga mengkhianati amanah publik yang menggantungkan harapan pada jurnalisme sebagai penjaga transparansi dan akuntabilitas.

Namun, di tengah tantangan yang ada, pers masih memiliki harapan untuk bangkit. Jurnalisme berkualitas tidak akan pernah kehilangan tempatnya. Upaya untuk menghidupkan kembali etika jurnalistik, memperkuat verifikasi informasi, dan menjaga independensi redaksi harus menjadi agenda utama. Pers harus kembali pada esensinya: melayani kebenaran dan kepentingan publik, bukan sekadar menjadi alat kekuasaan atau industri belaka.

Di era digital, inovasi juga menjadi kunci. Model bisnis media harus beradaptasi agar tidak sekadar bergantung pada iklan atau kepentingan politik tertentu. Jurnalisme berbasis langganan (subscription-based journalism) dan crowdfunding telah menunjukkan potensi besar dalam menjaga independensi media. Selain itu, kolaborasi antara media dan komunitas dalam mengedukasi masyarakat tentang literasi digital dan verifikasi berita juga menjadi langkah penting dalam menghadapi gelombang hoaks yang semakin masif.

Hari Pers Nasional seharusnya bukan hanya menjadi ajang perayaan simbolis, melainkan juga momentum refleksi mendalam bagi semua pihak. Pers bukan sekadar industri, tetapi juga institusi sosial yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masa depan demokrasi. Jika media tidak mampu merebut kembali kepercayaan publik, maka posisinya sebagai pilar keempat demokrasi akan semakin goyah.

Masyarakat pun memiliki peran dalam membentuk masa depan pers. Literasi media menjadi senjata utama dalam menghadapi disinformasi. Dengan menjadi pembaca yang kritis, publik dapat menuntut standar jurnalistik yang lebih tinggi, mendukung media independen, dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang bias. Hubungan antara pers dan masyarakat harus dibangun di atas dasar kepercayaan dan tanggung jawab bersama, bukan sekadar konsumsi pasif terhadap informasi yang disajikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun