Ketika inflasi Indonesia mencapai titik terendah dalam lebih dari dua dekade, banyak yang menganggap ini sebagai kabar baik. Angka 0,76%, yang jauh di bawah tren historis, seolah menjadi bukti bahwa ekonomi kita sedang dalam kondisi stabil dan Inflasi Rendah, Ekonomi Stabil? Jangan Tertipu Angka
Ketika inflasi Indonesia mencapai titik terendah dalam lebih dari dua dekade, banyak yang menganggap ini sebagai kabar baik. Angka 0,76%—yang jauh di bawah tren historis—seolah menjadi bukti bahwa ekonomi kita sedang dalam kondisi stabil dan terkendali. Pemerintah merayakannya, media mengangkatnya sebagai pencapaian, dan masyarakat pun berpikir bahwa harga-harga akan tetap bersahabat. Namun, benarkah inflasi rendah selalu berarti kabar baik?
Inflasi yang terkendali memang bisa mencerminkan kestabilan harga, tetapi ada sisi lain yang perlu dicermati. Jika inflasi rendah terjadi bukan karena peningkatan produktivitas atau efisiensi ekonomi, melainkan karena lemahnya daya beli masyarakat, ini justru menjadi sinyal bahaya. Dalam beberapa bulan terakhir, sektor ritel mengalami perlambatan, penjualan turun, dan banyak bisnis harus mengencangkan ikat pinggang. Perbankan pun mencatat stagnasi kredit, yang menandakan bahwa masyarakat dan dunia usaha semakin berhati-hati dalam berbelanja dan berinvestasi.
Fenomena ini bukan sekadar angka di laporan statistik. Di lapangan, banyak rumah tangga mulai mengurangi pengeluaran mereka. Belanja kebutuhan sekunder dan tersier menurun, bahkan sektor makanan dan minuman—yang biasanya relatif stabil—mulai merasakan dampaknya. Ketika daya beli turun, roda ekonomi pun melambat. Pabrik mengurangi produksi, bisnis menunda ekspansi, dan lapangan pekerjaan menjadi semakin sulit didapat. Inilah yang menyebabkan inflasi rendah bisa menjadi pertanda bahwa ekonomi justru sedang melemah, bukan membaik.
Dampaknya terasa di berbagai sektor. Pengusaha di sektor perdagangan mengeluhkan menurunnya jumlah pelanggan, sementara industri manufaktur menghadapi tekanan karena permintaan berkurang. Bahkan sektor jasa, yang sering kali menjadi penopang ekonomi dalam kondisi sulit, kini tidak kebal terhadap perlambatan. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran bahwa ekonomi Indonesia bisa jatuh ke dalam stagnasi—suatu kondisi di mana pertumbuhan ekonomi melambat, kesempatan kerja berkurang, dan masyarakat semakin sulit meningkatkan kesejahteraannya.
Salah satu ironi terbesar dari inflasi rendah ini adalah ketimpangan kebijakan yang muncul. Di sektor pemerintahan, misalnya, banyak pegawai negeri sipil (PNS) merasakan dampak dari kebijakan efisiensi anggaran. Pemotongan tunjangan, rasionalisasi belanja operasional, dan pembatasan fasilitas kantor mulai diterapkan untuk menyesuaikan dengan kondisi fiskal. Namun, kebijakan ini sering kali lebih berat dirasakan oleh pegawai berjenjang rendah dibandingkan mereka yang berada di posisi atas. Ketimpangan ini menambah tekanan ekonomi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, yang sudah lebih dulu merasakan perlambatan ekonomi di sektor swasta.
Di sisi lain, ketidaktepatan dalam distribusi subsidi semakin memperparah keadaan. Kasus kelangkaan LPG bersubsidi, misalnya, mencerminkan bagaimana kebijakan yang seharusnya membantu kelompok rentan justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan yang tidak berhak. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari bagaimana kebijakan ekonomi masih sering kali gagal menargetkan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan. Hal serupa terjadi di sektor pangan, di mana upaya menjaga stabilitas harga sering kali tidak diikuti dengan kebijakan yang mendukung kesejahteraan petani dan produsen lokal.
Salah satu faktor yang diam-diam menggerogoti daya beli masyarakat adalah perubahan pola konsumsi yang destruktif, seperti meningkatnya aktivitas judi daring. Dengan lebih dari 1.000 triliun rupiah mengalir ke luar negeri melalui praktik ini, ekonomi domestik kehilangan potensi perputaran uang yang sangat besar. Masyarakat yang seharusnya bisa menggunakan uangnya untuk konsumsi produktif justru menghabiskannya dalam ekosistem yang tidak memberikan manfaat bagi ekonomi nasional. Ditambah dengan rendahnya literasi finansial, banyak orang terjebak dalam pola konsumsi yang merugikan diri sendiri dan memperburuk kondisi ekonomi secara keseluruhan.
Dalam menghadapi tantangan ini, ada dua langkah utama yang bisa dilakukan. Pertama, perubahan pola konsumsi di tingkat individu. Masyarakat perlu mulai lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka, memberi preferensi pada produk lokal, dan menghindari konsumsi yang bersifat spekulatif atau tidak produktif. Kedua, reformasi kebijakan di tingkat makro. Pemerintah harus lebih aktif dalam mendorong kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, baik melalui insentif bagi usaha kecil dan menengah maupun melalui perlindungan industri lokal dari serbuan produk impor.
Namun, kebijakan yang tepat saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan perbaikan struktural dalam perekonomian. Investasi dalam infrastruktur yang mendukung produktivitas, perbaikan tata kelola subsidi, serta peningkatan keterampilan tenaga kerja menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa ekonomi Indonesia tidak hanya terlihat stabil di atas kertas, tetapi juga benar-benar kuat dan berkelanjutan di dunia nyata.