Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Pramoedya: Pesan Nyata untuk Generasi Muda yang Tak Pernah Usang

7 Februari 2025   08:13 Diperbarui: 7 Februari 2025   08:13 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://x.com/suluhpergerakan/status/1887348829059752414 

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang bergerak begitu cepat, sering kali kita lupa bahwa sejarah adalah cermin yang bisa memberi kita pemahaman lebih dalam tentang dunia. Sejarah tidak hanya tentang fakta dan peristiwa yang tercatat di buku pelajaran, tetapi juga tentang gagasan, narasi, dan pemikiran yang membentuk peradaban. Salah satu tokoh yang menorehkan jejak mendalam dalam kesadaran sejarah Indonesia adalah Pramoedya Ananta Toer. Namanya tak hanya dikenal sebagai seorang sastrawan, tetapi juga sebagai saksi dan pelaku zaman yang menyuarakan kebenaran melalui tulisan-tulisannya.

Saya tidak lahir sebagai pembaca Pramoedya. Bahkan, pada masa muda saya, saya tidak benar-benar tahu siapa dia. Saya mengenal namanya bukan dari ruang kelas atau perbincangan akademik, melainkan dari sebuah pertanyaan sederhana yang datang di saat yang tidak terduga.

Tahun itu adalah era di mana rezim Orde Baru masih begitu kokoh, dan saya sedang menjalani proses seleksi Litsus, sebuah metode penyaringan yang digunakan pemerintah untuk menyeleksi calon pegawai pegawai negeri, terutama yang dianggap memiliki afiliasi atau hubungan dengan bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Atmosfer politik saat itu begitu ketat, penuh dengan kecurigaan dan kehati-hatian. Buku-buku tertentu dianggap tabu, bahkan dilarang, karena isinya dinilai bertentangan dengan kepentingan penguasa.

Dalam salah satu sesi wawancara Litsus, seorang pewawancara melontarkan pertanyaan yang sederhana tetapi penuh makna, "Suka membaca buku Pramoedya?".

Saat itu, saya tidak tahu harus menjawab apa. Saya tidak pernah membaca bukunya, bahkan tidak tahu banyak tentang dirinya. Namun, pertanyaan itu menimbulkan rasa penasaran yang luar biasa. Mengapa nama Pramoedya ditanyakan dalam konteks seleksi ini? Apa yang begitu berbahaya dari buku-bukunya hingga perlu diawasi dengan ketat?

Dari rasa penasaran itu, saya mulai mencari tahu. Di masa itu, mendapatkan buku-buku Pramoedya bukanlah perkara mudah. Pemerintah sangat represif terhadap karya-karyanya, dan buku-buku tertentu dianggap mengandung muatan subversif. Namun, di balik segala keterbatasan itu, saya akhirnya berhasil mendapatkan salah satu karyanya yang pertama kali saya baca: Ken Arok.

Sejak halaman pertama, saya merasa terserap dalam kisahnya. Ken Arok bukan sekadar cerita sejarah, melainkan alegori yang begitu tajam tentang perebutan kekuasaan, ketidakadilan, dan revolusi. Saat membacanya, saya mulai memahami mengapa buku ini dilarang. Buku ini mengisahkan bagaimana desa-desa yang tertindas akhirnya mengepung dan menggulingkan kekuasaan yang mapan, sebuah konsep yang memiliki kemiripan dengan Revolusi Cina. Dalam revolusi itu, kaum tani yang selama ini dianggap lemah justru menjadi kekuatan utama yang menumbangkan struktur kekuasaan lama, menggantinya dengan tatanan baru yang mereka ciptakan sendiri. Pramoedya menulis dengan begitu lugas, menyajikan realitas sosial-politik yang sering kali disembunyikan oleh mereka yang berkuasa. Ia menggambarkan bagaimana kekuasaan bisa direbut dari bawah, oleh mereka yang selama ini dianggap kecil dan tak memiliki suara, mirip dengan bagaimana Mao Zedong dan pasukan komunisnya mengandalkan desa-desa sebagai basis perjuangan untuk mengepung kota-kota besar hingga akhirnya menggulingkan rezim Kuomintang. Pola ini, baik dalam Ken Arok maupun Revolusi Cina, menegaskan bahwa perubahan besar sering kali lahir dari pinggiran, bukan dari pusat kekuasaan yang sudah mapan.

Dari Ken Arok, saya beralih ke buku-bukunya yang lain. Semakin banyak saya membaca, semakin saya memahami bahwa Pramoedya bukan hanya seorang novelis, tetapi juga seorang pemikir yang memiliki keberanian luar biasa dalam menyuarakan kebenaran.

Pramoedya menyajikan sejarah dengan cara yang berbeda dari buku-buku teks yang saya baca di sekolah. Ia tidak sekadar menyampaikan peristiwa, tetapi juga menghidupkan tokoh-tokoh yang berjuang dalam arus sejarah. Ia mengisahkan bagaimana individu-individu kecil dalam sejarah memiliki peran yang besar dalam perubahan zaman. Ia memberi suara kepada mereka yang selama ini terpinggirkan, buruh, petani, kaum miskin kota, perempuan, dan kelompok-kelompok yang kerap dianggap tak penting dalam narasi resmi sejarah bangsa.

Namun, membaca Pramoedya di masa itu tidak hanya soal menyerap cerita. Ada rasa was-was yang menyertainya. Membaca buku yang dilarang berarti menempatkan diri dalam risiko. Namun, justru dari situ saya semakin memahami bahwa kebebasan berpikir adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Buku-buku Pramoedya menjadi jendela bagi saya untuk melihat sejarah dengan lebih jernih, bukan dari perspektif penguasa, tetapi dari sudut pandang mereka yang berjuang melawan ketidakadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun